34. [Resensi] Tukar Takdir

20190510_215555-1

Sejak pertama melihat hint bahwa Vabyo sedang menulis buku terbarunya, aku sudah menandainya dalam keranjang to be read selanjutnya. Jujur saja, semakin hari minat baca menguap entah ke mana, maka apabila ada berita kalau salah satu penulis kesayangan akan menerbitkan buku, besar harapan dapat menjadi pemicu untuk kembali menekuni literasi.

*****

Tukar takdir merupakan kumpulan cerita yang dikemas dengan gaya bercerita Vabyo yang mengalir, dengan kalimat yang sering berima dan plot twist yang menanti diakhir. Kadang aku tak siap mengantisipasi akhir dari sebuah takdir yang kupikir akan berakhir manis namun nyatanya tragis, seperti Takdir 2 : Serupa dan SerapuhSaya seperti luwak yang harus merasa bersalah kalau nggak berak karena sudah diberi kandang dan makanan.

Lain halnya pada Takdir 3, Vabyo dengan cerdas menuliskan fenomena sosial yang merebak saat ini dalam kisahnya tentang seorang Ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai selebgram yang bermain dengan filter dan menonjolkan bagian tubuh tertentu dengan angle yang pas demi meningkatkan jumlah love. Dibumbui juga dengan sulapan kutipan-kutipan beken yang dipajang sebagai caption.

“Bahwa apa yang ditampilkan dalam maya, seringnya tak seindah dalam nyata”

Untaian takdir yang Vabyo tuliskan tampaknya berasal dari pengalaman hidup pribadi – sepertinya ini ada pada Takdir 10, apalagi nama si tokoh adalah anagram nama lengkap si penulis. Shahih mah ini, hehe – ataupun cerita-cerita lumrah yang pernah kita dengar dari teman atau mungkin diri sendiri yang mengalami. Bedanya adalah, meski inti ceritanya cukup sederhana, cara penyampaiannya yang tidak biasa.

*****

[Takdir 1] : Diulang Sayang

Dari takdir ini aku menemukan istilah ‘keren’ untuk menyebut ilmu cocoklogi. Itu lho sejenis ilmu yang seolah-olah punya bukti data atau fakta ilmiah akan sesuatu tapi sifatnya hanya cocok-cocokan. Disebutnya, Pseudoscientist. Pun pada takdir ini mengingatkanku akan turbulensi yang pernah dialami saat berada di angkasa.

[Takdir 2] : Serupa dan Serapuh

Plot twist pertama yang tak kuduga akhirnya. Tragis.

[Takdir 3] : Duta Rumah Tangga

Ini merupakan takdir kesukaan, karena aku bisa menemukannya dalam kehidupan sekitar. Tentang orang yang berupaya menampilkan ‘sisi berbeda’ dari hidupnya yang menjadi idaman masyarakat pada umumnya. Dunia nyata yang berbanding terbalik dengan dunia maya. Hanya demi eksistensi dan juga uang berpundi-pundi.

[Takdir 4] : Kunci Pencari Pintu

Di luar ekspektasi akan akhir dari takdir ini. Kupikir akan happily ever after dengan kesembuhan sang istri, namun nyatanya dia tak lagi orang yang sama. Hihhh..

[Takdir 5] : Kelainan itu Kelebihan

Fenomena ‘kelebihan’ ini paling banyak terdapat dalam masyarakat, di mana sosok yang memiliki kelebihan itu sering dimintai tolong oleh masyarakat demi berbagai kepentingan, terlebih untuk meminta kesembuhan.

[Takdir 6] : Centong Ajaib

Cerita ini juga santer terdengar di kalangan para pedagang yang ‘tidak terima’ kalau pedagang lainnya lebih laris manis oleh pengunjung. Alasan paling klasik bin mistik biasanya yang paling mudah dijadikan pembenaran oleh mereka yang merasa ‘kalah’.

[Takdir 7] : Pembohong Yang Jujur

Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu jatuh juga.

Peribahasa yang bisalah dimirip-miripin dengan kisah ini.

20190513_224004_0000

[Takdir 8] : Pencinta Butuh Pelarian

Pesan moral dari takdir ini adalah : jangan bego lah kalau putus cinta. Sedih boleh, tapi gak harus resign juga. Masa iya udah lah sedih gegalauan, gak ada uang lagi plus didatangi makhluk dari zona lain pula. Makin dabel aja tuh nestapanya.

[Takdir 9] : Hidup Yang Sangat Berat

Manusia itu makhluk yang gak baik-baik amat lho. Paling sering baik kalau ada maksud ‘terselubungnya’. Makanya jangan sampai terkecoh lalu tertangkap olehnya. Bisa-bisa kekasih hilang, nyawa diri melayang.

[Takdir 10] : Melupakan Pengingat Diri

Curahan hati si penulis atas ‘pengalaman berharganya’ beberapa tahun silam, yang mungkin membuatnya makin mensyukuri hidup yang fana ini, karena diberi kesempatan untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi. *duh, kok kesannya aku sotoy banget nih hehe

[Takdir 11] : Aroma Masa Lalu

Kalimat terakhir dari takdir ini membuatku merinding. Sebagai pembaca aku gagal paham sedari awal tentang siapa tokoh dalam cerita ini.

20190513_224052_0000

[Takdir 12] : Singgasana Kekal

Tiada yang pernah tahu bagaimana situasi sebenarnya yang terjadi di Singgasana Kekal, karena konon katanya, yang berhasil kembali dibuat tak lagi mengerti akan apa yang sedang terjadi. Biar tetap menjadi misteri.

*****

Menukar takdir?

Terdengar menggoda bukan?

Tapi tunggu dulu, bukankah sebagai insan yang beragama seharusnya beriman pada yang namanya takdir?

Trus kenapa malah mau menukarnya?

Tukar Takdir dapat menjadi pengingat bahwa sekelam atau sesulit apapun takdir yang sedang dijalani, bersyukurlah. Berdoalah. Pinta pada pemilik Singgasana Kekal untuk membantumu melewatinya, untuk kemudian membawamu pada takdir terbaikmu yang Dia rancang. Karena jika kamu masih berkeras untuk menukar takdirmu dengan takdir yang ‘menurutmu baik’, yakin tidak akan ada penyesalan yang muncul belakangan?

Akhirnya takdir keberapa kah yang paling relate dengan hidupmu saat ini?

atau yang menjadi kesukaanmu?

33. [Resensi] Breakeven

“Kamu tahu pendulum? tanyanya kemudian. “Istilah untuk sistem gaya ayunan beban yang digantung pada titik kesetimbangan statis.” (P.44)

pendulum
edited by me. source from here

Dialah William Hakim, si maniak Fisika, yang dikabarkan meninggal dalam sebuah eksekusi atas suatu kejadian setahun lalu. Setidaknya itulah yang Karla percayai selama ini. Sampai ketika ada dua orang yang berpakaian seperti sales datang mengetuk pintu rumahnya serta menanyainya tentang Will.

“William sudah meninggal.”

Kalian yang membunuhnya.

You all killed him when he was already dying. When he already plead guilty, and asked for forgiveness. (P. 10)

Dua orang tersebut adalah agen federal yang ditugaskan untuk mencari William Hakim dan temannya yang bernama, Chester Winston. Karla tidak mengenal nama terakhir yang disebutkan agen federal tersebut, tapi rasa penasarannya semakin menguat setelah mendengar fakta bahwa William Hakim tidak dieksekusi pada hari itu. Dia kabur. Mereka melarikan diri.

Boston.

Di sanalah Karla berada untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada William. Membawa serta barang-barang peninggalan Will yang diberikan padanya – kotak rubik, sweater biru MIT, buku catatan, gambar-gambar dan alat-alat tulis Will, Karla mulai menapak tilasi jejaknya melalui cerita yang dinarasikan oleh Nicholas Hakim – Kakak Will. Karla tidak percaya begitu saja dengan informasi yang diberikan oleh Nicholas, dia merasa ada sesuatu yang ditutupi dan itu membuatnya semakin ingin memecahkan ‘teka-teki’ tentang Will. Apa yang sebenarnya terjadi pada Will? Benarkah dia masih hidup? Jika dia masih hidup, mengapa barang-barang peninggalan Will diberikan padanya? Lalu apakah Nicholas jujur dengan semua ceritanya soal Will?

“Jenazah itu terlihat sungguh-sungguh seperti Will?”

I know it was brother, K” (P.44)

*****

Ada baiknya sebelum membaca novel setebal 289 halaman ini, telah menyelesaikan terlebih dahulu pendahulunya, yakni novel berjudul Forgiven yang rilis perdana di tahun 2010. Bukan mengapa, agar tidak terlalu bingung peristiwa apakah yang menyebabkan Will dieksekusi dan bagaimana ‘kenakalan’ yang dibuat oleh Will dan teman-temannya saat SMA dulu. Aku yang telah membaca Forgiven saja lupa dengan detail-detail itu, soalnya bacanya udah lama, dan kemarin itu kayaknya tidak menulis pesan kesan pasca membacanya, huhuhu…

Dalam Breakeven, kisah dituturkan dari sudut pandang Karla – teman setia William sejak SMA (kalau aku gak salah ingat, hehe) yang mengenal William dengan sangat baik. Lalu ada pula Nicholas Hakim – kakak kandung Will yang ‘dicintai’ hampir semua orang dengan segala sikap baik, cerdas dan juga wajahnya yang tampan. Dan tokoh sentral dalam novel ini yakni, William Hakim ; yang digambarkan sebagai seorang pemuda yang setia kawan dan tergila-gila dengan fisika. Dia cerdas dan agak ‘idealis’ menurutku. Dia memiliki dunianya sendiri, yang kadang berseberangan dengan aturan yang dinormakan dalam masyarakat. Dia tidak peduli pada hukum. Dia peduli pada keadilan.

Selain mereka, ada tokoh-tokoh penting lainnya yang turut berkontribusi membangun karakter tokoh utamanya seperti, Chester Winston dan tiga temannya yang lain, gadis berambut merah, Chiara dan tokoh lainnya.

Jika saja materi-materi yang berkenaan dengan Fisika diuraikan secara sederhana melalui novel, kurasa pada saat SMA dulu Fisika tidak akan menjadi pelajaran yang kuhindari setelah Kimia tentunya, hehe. Dalam Breakeven ditemukan istilah-istilah berkaitan dengan Fisika, semisal : Termodinamika, pendulum, dll.

images
edited by me. source here

Lalu ada pula pesan tersirat yang penulis sampaikan dalam dialog antar tokohnya tentang fenomena ‘stereotipe’ berkenaan SARA, yang masih sangat relevan hingga saat ini,

20190105_205749

20190105_210006

juga tentang kebiasaan merundung orang yang dianggap lemah hingga menimbulkan masalah mental aka semacam dendam pada orang yang dirundung tersebut.

black-tumblr-wallpaper-desktop-background-300x169
edited by me. source : here

Selanjutnya, aku tidak menduga akan berkaca-kaca saat memasuki lembar-lembar akhir dari novel ini. Saat jemari bergerak menggapai namun tak urung menggenggam. Saat kalimat itu diucapkan.

I Love You,….

20190105_200509

26. [Resensi] Di Tanah Lada

Aku akan menyebut mereka Salt dan Pepper.

“Lada itu bumbu masak yang bikin perut hangat. Dia temannya garam. Di meja yang ada ladanya, pasti ada garam juga.” (Hal : 88)

lada atau Pepper dan garam atau Salt.

Mereka adalah dua sahabat baik yang bertemu di sebuah warung makan.  Salt, adalah anak berumur 6 tahun yang baru saja pindah ke Rusun Nero. Rusun yang sama yang juga dihuni oleh Pepper.  Meski baru berusia 6 tahun, Salt adalah anak yang pintar berbahasa Indonesia. Berbekal kamus pemberian dari Kakek Kia saat usianya menginjak tahun ketiga, Salt selalu membawa kamus ke manapun dia pergi. Untuk menemukan arti dari kata-kata yang sering diucapkan oleh orang dewasa – yang  tidak dia mengerti.

Kepindahannya ke Rusun Nero adalah karena Papanya. Papa yang dianggapnya hantu, orang jahat dan monster. Papa yang selalu membuat Mamanya menangis. Yang bahkan ingin mengunci dirinya yang sedang tidur di dalam koper. Papanya yang boros dan suka berjudi. Selain Pepper dan Salt, Rusun Nero juga memiliki penghuni baik hati di lantai 4 seperti Kak Suri – yang mengajari Pepper Bahasa Inggris – Mas Alri – yang mengajari Pepper bermain gitar serta Ibu, Bapak pemilik Rusun.

Masalah mulai muncul saat Papanya Pepper mensetrika tangan Pepper, hingga Salt yang saat itu berada di lokasi segera membawa Pepper ke tempat Kak Suri, untuk mencari perlindungan sekaligus pengobatan. Kak Suri membawa Pepper ke rumah sakit dan berencana untuk melaporkan tindakan Papanya Pepper ke polisi. Sementara Salt, tak ingin jauh dari Pepper. Dia merasa bahwa mereka mengalami nasib yang sama. Memiliki Papa yang jahat. Bahwa, semua papa di dunia ini jahat.

“Skeptis, maksudnya kamu berhenti percaya pada terlalu banyak hal. Kamu berhenti percaya kalau di dunia ini ada hal yang baik. Ada Papa yang baik, ada orang yang baik, ada nasib yang baik. Kamu berhenti percaya kalau kamu nggak perlu mati dan bereinkarnasi untuk bisa hidup bahagia.” (Hal : 196)

Salt dan Pepper menjadi anak yang skeptis akibat perlakuan orangtua mereka sendiri. ‘Melarikan diri’ mereka anggap sebagai jalan untuk dapat hidup bahagia. Maka mereka pun mulai melakukan perjalanan yang tanpa disadari dapat mengungkap masa lalu Pepper.

*****

17-05-01-23-33-02-030_photo

Di Tanah Lada

Pantas saja rasanya novel ini menjadi salah satu pemenang dalam sayembara DKJ 2014. Topik yang dipilih Ziggy sebenarnya adalah topik umum yang sering menjadi fenomena di Ibukota. Tentang kehidupan di Rumah Susun. Tentang kebiasaan berjudi pada masyarakat. Tentang KDRT. Tentang pergaulan bebas serta perihal berbahasa Indonesia yang baik, yang makin terpinggirkan dengan penggunaan istilah-istilah asing.

Yang membedakan adalah sudut pandang penceritaannya. Melalui kacamata anak berusia 6 dan 10 tahun Ziggy mencoba melihat bagaimana anak-anak berusaha memahami dunia orang dewasa. Bagaimana efek yang ditimbulkan dari KDRT bagi anak serta tentang bagaimana menyikapi sebuah kesalahan yang terjadi akibat dari pergaulan bebas di masa lalu.

Beberapa sindiran halus yang kutemukan dalam novel berjumlah 244 halaman ini, seperti misalnya :

“Yang lebih penting daripada bertutur kata baik adalah bertutur kata dengan tepat.” (Hal : 66)

“Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa.” (Hal : 92)

Penulis juga sedikit menyentil fenomena pasca perceraian yang kerap di masyarakat perceraian dalam kalimat polos yang diucapkan oleh Pepper saat dia diberi boneka Pinguin oleh Salt.

“Aku dan kamu sama-sama boleh main dengan bonekanya,” jelas Pepper. “Kadang-kadang, bonekanya ikut aku, kadang-kadang ikut kamu.”

“Memangnya bisa begitu?”

“Bisa dong. Kayak punya anak. Anak, kan punya Papa dan Mama. Jadi, mereka bagi-bagi.” (Hal : 108)

Karena POV nya dari seorang anak, maka dialog-dialog khas anak-anak pun tertulis dalam beberapa kalimat yang mengundang senyum simpul saat membacanya.

Capture+_2017-05-01-23-53-21

Masih ada beberapa kalimat-kalimat yang kusukai dari buku ini :

Ada banyak orang yang menunduk ketika seseorang meninggal. Orang-orang tertarik dengan kuku kaki dan lantai marmer ketika itu terjadi (Hal : 5)

“Tidak ada yang bisa tahu apa yang kamu rasakan – sayang atau tidak – kalau kamu tidak mengatakan, atau menunjukkannya dengan benar.” ( Hal : 8)

 “Budi bahasa baik membentuk manusia bersahaja.” (Hal : 103)

Sedih sekali, tidak ada bintang di Jakarta. Aku bilang, “Kalau begitu, bagaimana caranya permohonan orang Jakarta bisa terkabul.” (Hal : 123)

“Yang menurut kamu bagus, nggak berarti bagus untuk orang lain, tahu?” (Hal : 138)

Aku bilang ke Kakek Kia, sulit sekali menemukan ‘kebenaran’ dalam kamus. Lalu, dia tampak sedikit sedih. Dan, kata Kakek Kia, “Lebih sulit lagi menemukannya di dunia nyata.” (Hal : 210)

Yang sedikit menganggu pikirku kala menyelesaikan novel ini adalah, kok yah Salt dan Pepper itu cerdas untuk anak seumuran mereka. Agaknya setelah semua ‘kekerasan fisik dan mental’ yang mereka terima dari orang-orang terdekatnya yang membuat mereka lebih awal mendewasa, namun tetap tidak kehilangan ciri khas kekanakan mereka – polos, ingin tahu dan blak-blakan. Inginnya sih aku memberi bintang sempurna untuk novel ini, tapi yah endingnya itu membuatku mengurungkannya.

4,5 /  5 bintang untuk persahabatan sehidup semati  Garam dan Lada.

Judul : Di Tanah Lada | Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie | Halaman : 244 | Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Capture+_2017-05-01-23-52-30

Bermain di IRF part 1

Desember ke sepuluh di tahun ini telah kutandai dalam penanggalan sebagai sesuatu yang dinanti. Acara tahunan yang menjembatani para penggiat literatur – penulis, pembaca, penerbit – kembali digelar. Museum Nasional menjadi saksi berkumpulnya para penyuka atau mungkin pencinta buku merayakan acara yang digagas oleh Goodreads Indonesia, bernama, Indonesia Readers Festival (IRF) atau Festival Pembaca Indonesia. Ini kali kedua aku mengikutinya. Berbeda dari tahun lalu, ketika aku berjalan sendirian memutari satu demi satu booth dari berbagai penerbit, di IRF yang sekarang aku bersama dengan dua orang rekan yang sungguh baik hati karena bersedia menjadi fotografer dari tiap moment yang telah kulewati selama acara berlangsung (semoga menjadi ladang amal untuk kalian, karena membuat orang bahagia aka senang akan mendapat pahala bukan?)

Aku menjadi orang yang ingkar.

Selisih 90 menit dari waktu temu yang disepakati membuatku berjalan sendirian menuju tempat penyelenggaraan. Tapi tak mengapa karena kemampuanku membaca petunjuk tempat sudah mengalami kemajuan, tidak lagi ada tersasar seperti tahun lalu. Dua orang teman telah tiba lebih dahulu. Acara belumlah dimulai ketika aku melangkahkan kaki ke dalam ruang berkapasitas 50-60 orang tersebut. Tak sampai lima menit aku duduk, mataku menemukan sosok yang akan menjadi pembicara dalam workshop yang akan kuikuti pagi kala itu. Seorang perempuan yang kukagumi. Setidaknya sejak aku membacai rekam jejaknya dalam dunia kepenulisan yang telah sepuluh tahun lamanya. Perempuan yang biasa disapa dengan “Mbak, W.”

“Udah sana minta tanda tangannya sekarang aja, sebelum ramai.” Temanku memberi saran.

“Nanti ajalah, Mbak W nya masih sibuk liatin laptop. Gak enak, nanti ganggu pulak.” Aku beralasan. Padahal lebih tepatnya aku sungkan dan pemalu 😛 (tapi sungguh jika kalian sudah mengenalku dengan baik, pemalu yang tadi kukatakan bertransformasi menjadi ‘malu-maluin’).

Tak habis akal, temanku malah mengajari bagaimana cara memulai percakapan. “Awali dengan senyum, nanti juga dia bakalan senyum.” Kira-kira begitu petuahnya. Temanku itu belum tahu saja, bahwa ada seorang anak Adam yang ketika aku tersenyum hanya padanya, alih-alih membalas dengan senyum juga, wajah datar tanpa ekspresi malah yang kudapatkan, eh kok jadi curcol kenangan lama ya, maafkan 🙂

Singkat kata, singkat cerita, aku dan dia jatuh cinta. 

Eh bukan, bukan, maksudnya singkat kata, singkat cerita aku dan temanku itu beranjak menuju meja Mbak W dan memintanya untuk membubuhkan autograf di buku Life Traveler kepunyaanku. Buku yang kukirim khusus dari kampung agar dapat ditandatangani langsung oleh penulisnya. Tak lengkap rasanya bila hanya mendapat sebuah tanda tangan tanpa mengabadikannya secara visual dalam wujud potret.

Banyak wawasan baru yang kudapatkan selama mengikuti proses workshop yang bertajuk “Creative Writing 101”. Insya Allah, aku akan menceritakan ‘permainan jari’ apa saja yang dilakukan dalam workshop tersebut di postingan yang selanjutnya. Sekalian bercerita juga tentang workshop lainnya yang dipandu oleh Mbak Lala Bohang tentang “Make Your Own Book With What You Have and What You Can Do” yang juga aku hadiri.

15443052_10207832482234184_7734129306871638396_o
udah pasang gaya maksimal, eh malah blur huhu 😦

 *****

Sarapan, tidak.

Makan siang, lewat.

Biasanya pada pukul 15.00 aku telah mengonsumsi nasi, minimal sekali. Namun karena padatnya acara yang kuikuti hari itu tidak menyempatkanku untuk keluar gedung mencari warteg terdekat. Alhasil, perutku harus bersyukut karena masih kuberi nutrisi berupa dua potong biskuit berlapis gula, beberapa roll stik cokelat dan sebotol air mineral. Setidaknya dapat sedikit mengganjal rasa lapar yang sedari tadi sudah terasa sembari menunggu rangkaian acara selesai pada pukul 17.00.

Selain kedua workshop yang telah kusebutkan, aku juga turut menjadi penonton yang menyaksikan talkshow dan peluncuran perdana buku karangan dari Adhitya Mulya – Bajak Laut dan Purnama Terakhir.

Jika tahun lalu aku memiliki cukup banyak waktu untuk mengitari dan singgah di tiap booth, kali ini tidak. Mungkin hanya sekitar 15-30 menit alokasi waktu antara :

…. aku berdiri menatap satu persatu tumpukan buku di meja panjang bernama arena : book swap.

…. berpindah ke meja satunya yang berisi buku-buku bersampul cokelat yang telah diberi petunjuk, bernama arena : blind date book.

15400900_10207832575756522_2898579477677576684_n

15369082_10207832530955402_4020707477077182244_o
Hasil blind date books and book swap (^_^)

…. berjalan-jalan dari satu booth ke booth lainnya lalu melihat seorang penulis kesayangan ada di sana.

“Mbak Mo, boleh foto bareng gak?”

“Tunggu…” ada jeda dalam kalimatnya “Indri ya? aku ingat kan, padahal udah setahun lalu.”

Aku kaget. Tidak menduga sama sekali kalau Mbak Mo mengingat namaku. Secara pertemuan pertama kami adalah setahun lalu, dalam IRF juga.

“Sebentar ya, aku mau ngobrol sebentar sama Kang Adit”

15392998_10207832499794623_7861304295648976710_o
Menangkap moment temu dengan Mbak Morra 🙂

*****

IRF 2016 ini juga menjadi kali kedua aku melihatnya. Dia yang kumaksud bukan penulis, melainkan pembaca yang entah mengapa dulu pernah hadir di mimpiku setahun silam. Dia masih sama seperti pertama aku menatapnya, dengan kacamata, kumis tipis dan janggut yang sedikit. Kali ini dia mengenakan jaket abu-abu dengan sepatu kets bertuliskan diadora.

Aku senang melihatnya lagi, meski tanpa ada sensasi kupu-kupu di perutku. Hidup adalah drama. Namun tidak semua kejadian dalam hidup sesuai dengan drama kesukaan kita yang biasa disaksikan dalam layar kaca. Misalnya saja ketika dua orang bersilang jalan, mengapa dalam realitanya waktu tidak berjalan lambat dan pelan hingga pada akhirnya dua orang tersebut dapat mengenali satu sama lain. Coba saja di dalam drama layar kaca, sudah pasti akan ada yang namanya slow motion yang menandakan inilah awal mereka bertemu.

Ya, aku bersilang jalan dengannya.

Pintu keluar yang menjadi latar.Aku berniat kembali ke gedung pasca menunaikan kewajiban sebagai hamba Allah dan dia sedang menuju tempat yang baru saja kudatangi.

*****

Rintik hujan yang turun.

Bergesernya waktu makan.

Lelahnya tubuh karena sedari pagi melakukan aktivitas dengan membawa 5 buku dalam tas di selempangan bahu dan 4 sisanya dalam goodie bag.

Lalu ditambah dengan terlambat munculnya bus bernomor AC 34.

Membuatku menutup mata di tengah perjalanan pulang. Padahal biasanya aku bukanlah orang yang mudah tertidur dalam transportasi umum. Mungkin itu terjadi karena akumulasi semuanya, dan semakin lengkap dengan dinginnya suhu ruangan dalam bus tersebut. Aku jatuh tertidur dan kembali tersadar ketika kondektur mengatakan “Islamic, Islamic.”

*****

PS : Terima kasih untuk kedua rekan yang meluangkan waktunya untuk bermain bersamaku di IRF kali ini.

Terima kasih kepada F untuk pinjaman buku kesukaannya.Semoga kita masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi diacara serupa tahun depan.

Aamiin.

15356584_10207832518355087_1214878249229915518_n
ki-ka : Mbak Morra, Mbak Windy, Mbak Lala, Kang Adit

22. [Resensi] Pulang

pulang-5691e8292a7a61520fb229e4

Pulang pada hakikat kehidupan.

Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan (hal : 219)

Hanya karena libur teramat panjang dan aku tidak ingin mati gaya, maka selain nama besar tere liye sebagai pengarang – aku pernah membaca beberapa bukunya dan tidak masalah dengan cara berceritanya – dan judul yang sesuai dengan kejadian yang ketika itu ku lalui, maka aku membawa serta buku ini bersama daftar buku pinjaman lainnya.

PULANG

Ya, ketika itu aku sedang pulang. Ke kota di mana aku dilahirkan.

Buku ini pun ku bawa pulang.

Romansa, keluarga, dan kepergian menuju masa depan (merantau) adalah beberapa bagian yang berkelindan dalam buku ini, pikirku pada awalnya. Namun ternyata tebakan ku sedikit meleset. Sama sekali tidak ada nuansa romansa antara laki-laki dan perempuan dalam buku ini, tapi tidak berarti aku kecewa akan keseluruhan isi buku.  Meski aku merasa tertipu dengan asumsiku sendiri, aku tidak lantas dapat meletakkannya begitu saja. Banyak wawasan baru yang aku ketahui setelah membacanya, tentang shadow economy – dulu sekali pernah dengar tentang bagaimana para pengusaha-pengusaha kaya menjalankan bisnisnya dan keterlibatan mereka dalam ‘dunia gelap’ soal perputaran uang – tentang cara menjadi seorang ninja dan samurai sejati serta filosofi pistol dari seorang Salonga.

Semua orang punya masa lalu, dan itu bukan urusan siapa pun. Urus saja masa lalu masing-masing (hal : 101).

Semua orang di dunia hitam mengenal kakekmu, Bujang. Dia adalah jagal ternama hingga pulau seberang. Julukannya ‘Si Mata Merah’ karena matanya selalu terlihat merah. Bisikkan nama kakekmu di perempatan jalan, satu kota akan bergegas masuk ke dalam rumah, meringkuk terkencing-kencing. Sebutkan nama kakekmu di balai bambu, satu kota akan bergegas pulang, memadamkan lampu (hal : 144).

Pulang berhasil menyentuh sisi melankolisku tanpa balutan cinta-cintaan ‘keju’ yang biasanya ada dalam novel romance.

Buku ini menyajikan lebih dari itu.

Perkara pilihan hidup yang seringnya tidak adil dan sulit untuk dipilih, lalu dilain hari akan menyesali mengapa waktu tidak dapat diputar ulang.

Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus. Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sedangkan sisanya lebih banyak menghasilkan penyesalan (hal : 262)

Hidup ini sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh matahari (hal : 336)

Tentang keberserahan diri pada apa-apa yang telah menjadi rencanaNya. Yakinilah  bahwa apa yang telah ditulis olehNya adalah skenario terbaik yang memang hanya mampu dilalui oleh kita sebagai pemeran utamanya.

Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egosime. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja (hal : 219)

“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran” (hal : 340)

Tentang cinta pada keluarga – meski tanpa ada kesamaan ikatan darah. Tentang kesetiaan, pengorbanan dan kesabaran.

Bahwa kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain (hal : 188).

Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarkan waktu menghabisi semuanya (hal : 288)

Serta tentang sejauh apa pun langkah kaki ini menapak, sekelam apa pun jalan yang pernah di tempuh, Sang Pemilik kehidupan senantiasa menanti kita untuk kembali pulang kepadanya.

Karena cinta yang paling hakiki adalah cinta Sang Pencipta pada hambanya.

“Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan. Segelap apa pun hitamnya jalan yang ku tempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang (hal : 400)

Dan pada akhirnya, nilai sempurna – lima – untuk suara panggilan pulang yang berasal dari Tuhan.

Behind the Book: Apa Pun selain Hujan

orizuka:

Orizuka: The Chronicles

Entry #28

May 28, 2016

OMG it’s been almost a year since the last entry what on earth has happened this past year!

There you go, another cliche opening line.

I know, right. It’s 2016 and I’m still bad at keeping promises to myself then self-complain about it.

Tapi aku nggak akan membahasnya lebih lanjut di sini.

Nggak kali ini, karena aku mau berbagi kabar baik!

Jadi, ceritanya, aku baru saja melahirkan karya ke-25.

Yaay~ *seal clap*

Buat yang belum tahu, judulnya Apa Pun selain Hujan.

image

Apa? Itu judul yang aneh?

Memang iya, walaupun saat membuat judul itu, aku nggak bermaksud untuk jadi anti-mainstream.

Bukan pula untuk menyaingi novel Tere Liye (aku nggak tahu novel beliau akan berjudul Hujan dan terbit berdekatan—lagi pula siapalah aku ini).

Jadi, kisah ini dimulai dari tiga tahun yang lalu.

Saat itu, aku menyiapkan diri menulis sebuah naskah untuk NaNoWriMo. Judul sementaranya adalah Anything but The Rain.

Judul itu sebenarnya datang dari BLEACH, salah satu manga favoritku. Di salah satu volume-nya, ada chapter berjudul Everything but The Rain, yang sangat-sangat intriguing buatku. Di sana, aku sadar kalau hujan tidak selamanya romantis—beberapa orang mungkin malah membencinya karena suatu alasan emosional.

Aku kemudian memodifikasi ‘everything’ menjadi ‘anything’, karena rasanya, bagi jalan cerita yang akan kubuat kata tersebut lebih mewakili.

Saat mengirim naskahnya ke GagasMedia, aku memutuskan untuk menggunakan judul itu, tetapi diubah ke bahasa Indonesia. Alasannya, aku ingin sesuatu yang berbeda, terutama di karya yang ke-25 ini. Aku ingin punya novel yang judulnya menggunakan bahasa Indonesia (hampir semua judul novelku menggunakan bahasa Inggris kecuali Duhh… Susahnya Jatuh Cinta—but please just let it slide).

Begitu memasuki proses editing, aku diminta mencari judul lain. Berbagai pilihan muncul, tapi terasa kurang sreg. Aku ingin menghindari kata ‘rain’ karena sudah terlalu banyak digunakan, dan sesungguhnya, aku tetap ingin novel yang judulnya menggunakan bahasa Indonesia.

Pada akhirnya, editor setuju menggunakan Apa Pun selain Hujan… yang kemudian setelah infonya dirilis, menyebabkan berbagai kebingungan.

Teman A : “Apa Pun selain Hujan? Badai, dong!”

Aku : “Bukan, kemarau!” *self-diss*

Teman B : “Aku bilang suamiku kalau novelmu judulnya bagus—Asal Bukan Hujan!”
Aku : “Um… It’s actually Apa Pun selain Hujan.”

Teman C : “Aku udah vote cover Hujan Rintik-rintik, lho!”

Aku : “……….”

You know who you are, guys.

Selain itu, aku juga baru sadar kalau aku mungkin akan menyusahkan para pembaca yang berniat mencari bukunya di toko buku.

Pembaca : (nanya ke pegawai toko buku) “Mbak, ada novel Apa Pun selain Hujan?”

Pegawai : “??? Ya banyak, Mbak…”

Semoga kalian tidak termasuk salah satunya ya.

Anyways.

Ide utamanya sendiri berangkat dari lirik lagu Korea. Saat itu aku sedang gemar-gemarnya mendengarkan Kpop (*cough* I still do now *cough*), dan tertarik sama lagunya Teentop yang berjudul I Wanna Love. Liriknya mengisahkan soal cowok yang lelah, yang ingin melupakan masa lalu dan melanjutkan hidup.

Lirik itu bikin aku kepengin bikin tokoh seorang cowok yang angst nan emo. Bukan emo secara penampilan macam Gerrard Way, tapi lebih ke kepribadian yang sensitif.

Dari situ, muncullah tokoh utamanya yang bernama Wira. Karakternya kemudian kulengkapi dengan sifat-sifat lain dari berbagai kepribadian yang kulihat di acara TV.

Salah satunya adalah seorang anggota EXO (saat itu) yang menurutku lumayan unik. Dari luar kelihatan tough, tapi dalemnya lembut kayak tahu sutera. Inisialnya HZT, yang sayangnya nggak aku masukkan ke halaman dedikasi.

Jadi, mumpung ingat, aku susulkan di sini. Terima kasih untuk Tao (or Z.Tao now), si ahli bela diri yang cengeng dan takut sama serangga. Adegan jerat-jerit di rumah hantu itu juga berkat dirinya.

Selain dia, Wira juga kudapat dari seorang taekwondoin favoritku asal Korea yang bernama Lee Dae Hoon. Orangnya tinggi, kurus, kalem dan imut-imut—almost a harmless cinnamon roll kalau dia nggak pakai dobok yang diikat sabuk hitam.

Karena suka banget nonton taekwondo (salah satu olahraga yang aku tunggu-tunggu setiap olimpiade), aku memutuskan untuk memberi latar olahraga tersebut ke naskahnya. Saking niatnya, aku nyari-nyari mahasiswa taekwondoin Universitas Brawijaya di Facebook, dan alhamdulillah, ada yang sudi menyahut.

Namanya Hemas, dan dia kece banget. Turun di kelas under 67 kg, medalinya juga udah bejibun.

Walaupun udah beken (ada beberapa artikel di internet soal dia—yang dia bahkan nggak sadari), Hemas ini baik banget. Dia mau aku interogasi, bahkan bantu baca naskah mentahnya dari awal dan ngasih revisi dengan mencoret-coretnya.

Rasanya kayak skripsi lagi, tapi skripsi yang luar biasa menyenangkan.

Ah, soal Universitas Brawijaya.

Aku memilih universitas itu karena aku menggunakan Malang dan Batu sebagai latarnya.

Aku jatuh cinta waktu pertama kali ke dua kota itu, yang punya trotoar besar untuk jalan kaki, punya pantai, punya gunung, punya taman bermain… lengkap pokoknya.

Universitas Brawijaya sendiri cocok banget untuk melatari cerita yang kubuat, karena semua fakultas dan gedung UKM-nya berkumpul di satu kawasan.

Saat riset, aku beberapa kali pergi ke Malang. Salah satunya ada yang berdurasi sekitar 2 minggu, untuk mendalami latar tempat dan wawancara beberapa narasumber.

Selain Hemas, narasumber yang lain adalah Fanny, mahasiswi Teknik Sipil, dan Dzikria, mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan. Keduanya juga baik banget, mau aja gitu diajak ketemuan sama orang nggak jelas aku.

Soal pemilihan jurusan para karakter, aku memilih Teknik Sipil untuk Wira karena… nggak ada alasan khusus. Aku hanya ingin dia masuk Teknik (pilihannya antara Industri dan Sipil).

Untuk Kayla, aku memilih Kedokteran Hewan, karena aku juga ingin mengangkat soal kecintaan terhadap kucing, hewan kesayanganku.

Setelah semua bahannya kurasa lengkap, aku mulai membuat kerangka, lalu mengembangkannya.

Penulisannya sendiri butuh waktu lama, karena aku harus menjalin semua hal tadi. Pada akhirnya, November berlalu dengan kejamnya dan aku gagal menang di NaNoWriMo.

Naskahnya sempat terlantar selama beberapa waktu karena ngambek nggak menang NaNoWrimo terpotong proyek lain (Oppa & I: Love Signs dan Audy 21).

Saat aku ingin melanjutkan, aku merasa ada yang salah dengan alurnya setelah membacanya lagi. Jadi, aku mulai rombak dari kerangka, kemudian mulai menulis lagi di pertengahan 2014.

Awal 2015, naskahnya jadi dan kukirimkan ke GagasMedia, yang kurasa cocok dengan tema yang kubawa. Setelah mendapatkan berbagai masukan dari editor, aku merevisinya berulang kali hingga siap terbit sekitar setahun setelahnya.

Aku selalu senang setiap menulis, tapi khusus di naskah novel ini, saat menulisnya, ada perasaan seperti terombang-ambing. Setelah kutelusuri, sepertinya perasaan ini muncul karena karakter Wira.

Kalau selama ini aku lebih sering menuliskan karakter cowok yang cenderung bad boy (kalau punya masa lalu pun, biasanya kepribadiannya tough), kali ini, aku menciptakan seseorang yang rapuh secara psikologis—yang nggak percaya diri, suka menyalahkan diri sendiri, menghukum diri terus-terusan, dan penakut. Ini hal yang lumayan baru untukku. Aku harus berjuang ikut merasakan emosinya yang naik-turun, yang mana kadang melelahkan dan bikin bingung.

Saat itu, editor sempat mempertanyakan keputusanku dalam membuat karakter yang tidak lazim (buatku) seperti ini. Aku sendiri mantap meneruskannya, karena selain ingin menantang diri sendiri, aku ingin menunjukkan bahwa karakter yang tidak sempurna dan manusiawi seperti Wira juga layak dicintai.

Karakter Kayla yang kebalikan dari Wira adalah karakter yang bisa memperbaiki mood-ku sepanjang menulis naskah ini. She’s like the sun peeking through cloudy sky. Dia memberiku—juga Wira—harapan. Karenanya, aku bisa mengerjakan naskah ini sampai akhir.

Jadi!

Begitulah, proses pembuatan Apa Pun selain Hujan, yang urut-urutannya lumayan berantakan dan sama sekali nggak terlihat profesional.

I have to be honest about something, though.

Sejujurnya, entry ini adalah bagian dari rangkaian blog tour Apa Pun selain Hujan.

Jadi, aku mohon maaf sekali kalau-kalau ada pembaca yang berekspektasi akan membaca sesuatu yang muram dan serius seperti bukunya.

Seperti inilah diriku kalau bikin entry blog. *deep bow*

Tapi, aku juga harus berterima kasih kepada tim GagasMedia yang memberiku jadwal untuk membuat entry ini. Karena kalau nggak, blog ini akan terus terlupakan sampai entah kapan.

It actually feels so good to be back, BUT I’m trying not to make another promise.

Kepada yang sudah baca Apa Pun selain Hujan, terima kasih ya! Bagi yang belum, baca ya kalau sempat!

Thanks for bearing with me! See you when I see you!

P.S. Check out the blog tour schedule below!

P.P.S I’m so sorry about the giveaway part!!!

Aku akan memilih salah satu dari akun Tumblr yang melakukan reblog dengan comment pada entry ini untuk mendapatkan satu eksemplar Apa Pun selain Hujan.

Ditunggu komennya hingga 29 Mei 2016 pukul 11.00 WIB ya! Pengumumannya 13.00 WIB.

Good luck!

image

Pasangan Kencan

a

Cinta itu sabar. Ia akan selalu belajar dari sebuah kesalahan. Bukan malah mencari kesalahan. Ia akan belajar memaafkan dan menerima. (halaman : 59)

Cerita bermula dengan bagaimana Kia dan Bas adalah dua orang teman yang sangat dekat. Di mana ada Kia, maka akan ditemukan pula Bas di sisinya. Mereka akrab. Saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Bukan berarti tidak ada intrik di antara mereka, namun pada akhirnya mereka akan berbaikan lagi dan lagi. Kembali menikmati senja dari atas atap bersama.

Konflik mulai terasa ketika hidup memasuki fase selanjutnya. Kuliah. Bas dan Kia yang terpisah jarak semakin jarang berkomunikasi. Menatap senja dari atas atap sembari menikmati secangkir cokelat panas ditemani dengan orang yang dicinta adalah rutinitas yang sering dirindukan oleh Kia ketika dia harus pergi ke Gunung Kidul untuk KKN. Dan Bas, sahabat sejak kecil Kia, yang juga menjadi cintanya, pergi ke negeri seberang demi membuat orang tuanya bangga. Beruntungnya Kia, selama KKN dia ditemani oleh teman yang selalu membuatnya nyaman, Hisyam. Orang yang ada di sisinya pasca kepergian Bas. Hisyam pula yang setia menemaninya menikmati cokelat panas di akhir hari.

Akankah Kia masih menyimpan perasaan yang sama untuk Bas yang telah lama tidak berjumpa dengannya, meskipun Hisyam senantiasa ada di sampingnya ? Akankah tujuh belas tahun kebersamaan Kia – Bas harus berakhir demi meraih masa depan ?

Emang kalau ngeluh gitu, skripsinya bisa cepet selesai? (halaman : 261)

*****

Zonk.

Bukan. Bukan zonk mengenai cerita dalam novel ini. Bukan. Sama sekali bukan.

Begitu kubuka sampul pembungkusnya, aku sudah punya dugaan tentang cerita apa yang disuguhkan dalam novel ini. Jadi aku tidak menaruh ekspektasi apa-apa ketika membacanya.

Yang aku maksud zonk adalah, ‘tebakanku mengenai apa yang menjadi pasangan kencanku’. Aku punya dugaan bahwa prioritas pertamaku yang akan menjadi pasanganku, karena eh karena si ‘pemilik’nya mengirim pesan kepadaku. Ternyata aku salah, yang berjodoh denganku bukanlah pilihanku yang pertama, melainkan pilihanku yang kedua.

Berbicara tentang pilihan pertamaku, aku punya dugaan buku apa itu sebenarnya. ALLY. Apakah ada unsur kata itu dalam judul buku yang menjadi pilihan pertamaku? (tanya Putri Natalia :P)

Kaget ketika pasangan kencanku ternyata bukan buku yang telah kuduga, haha. Jadinya gak bisa membuktikan apakah analisisku sudah sehebat Heiji ataukah masih setingkat Kogoro 😀 hehe.

Walau tebakanku salah, aku cukup senang ketika menemukan selembar kertas yang diapit bookmark yang berasal dari si pengirim. Menerima sebuah surat dari teman bertukar buku yang selama ini hanya kuikuti dalam linimasa.

P_ambangsari, terima kasih telah menuliskan ‘surat pengantar’ itu 🙂

Fifah dan Putri Natalia, terima kasih telah menyelenggarakan event kece bertajuk Blind Date With A Book. Semoga tahun depan masih akan ada event serupa atau malah event yang jauh lebih kece lagi dan aku dengan senang hati akan berpartisipasi meramaikannya.

PS :

Ah iyaa, sekalian ingin memberi tahu identitas asli dari buku yang ku ikutsertakan dalam Blind Date kemarin :

my-favorite-good-bye
Penulis adalah orang-orang kesepian yang sulit dimengerti | Diterbitkan di dua negara | Tokoh utamanya pria
51rQ38oOgXL._SX348_BO1,204,203,200_
Kumpulan cerpen | Penulis perempuan yang pernah memenangkan Khastulistiwa Literary Award | Anjing | Manusia yang hidup abadi
26869062
Remaja | Aceh | Sebuah Janji | Kertas

Bagi yang menebak Tere Liye untuk buku yang ketiga, kalian salah total saudara-saudara huahaha 😛

 

Cheers,

Indri

Blind Date with A Book

BLIND DATE WITHBOOK(3)

Assalamualaikum, dan selamat pagi..

Lagi, mood menguasai diri hingga akhirnya blog ini antara ada dan tiada. Padahal niatnya sedari awal membuat blog yang khusus berkenaan dengan buku eh malah jarang diisi. Ditambah lagi dengan reading slump yang belakangan ini melanda, makin jadilah ini blog penuh keheningan. Demi menyiasati itu semua maka aku membuat keputusan untuk mengikuti event kece yang digawangi oleh Afifah dan Putri. Event yang diberi nama Blind Date with a Book. Di mana nanti tiap-tiap orang yang menjadi peserta event akan ‘memberikan’ bukunya kepada peserta lain. Namun masing-masing peserta tidak tahu wujud real buku seperti apa yang akan mereka terima. Mereka hanya akan diberi kode – kode yang akan membantu untuk memilih buku mana yang diinginkan. Nah sebagai salah satu dari peserta, maka aku juga berkewajiban menebar petunjuk tentang buku apa yang ingin kuberi pada peserta lain.

Buku-buku ini memiliki arti tersendiri bagiku. Satu diantaranya hadiah dari penerbit mayor, karena alhamdulillah aku memenangkan kompetisi menulis surat. Dua lainnya, kumiliki ketika untuk pertama kalinya aku hadir dalam event pembaca di Jakarta. So udah siap menebak kode-kode dariku?

Here it is :

  1. Penulis adalah orang-orang kesepian yang sulit dimengerti | Diterbitkan di dua negara | Tokoh utamanya pria.

  2. Kumpulan cerpen | Penulis perempuan yang pernah memenangkan Khatulistiwa Literary Award | Anjing | Manusia yang hidup abadi

  3. Remaja | Aceh | Sebuah Janji | Kertas

Sudahkah punya dugaan buku apa yang kumaksud? Tidak terlalu sulit kan petunjuknya? 🙂

Ah iyaa, sebagai catatan saja :

Jangan berekspektasi tinggi terhadap buku-buku ini. Aku tidak tahu genre seperti apa yang kamu sukai, jadi pesanku jika nantinya buku tersebut berjodoh denganmu, sayangi dia sebagaimana aku (pernah) menyayanginya.  Pesanku cukup mudah bukan?

Semoga buku-buku ini dapat bermanfaat untuk kamu.

Cheers,

Indri..

20. [Resensi] Lautan Langit

Judul : Lautan Langit
Penulis : Kurniawan Gunadi
Halaman : 203
Penerbit :  Langitlangit Creative Studio

CdPj2nmUEAAnyw2

“Semoga Allah menyelamatkan orang-orang yang lemah karena jatuh cinta.” (Hal : 6)

Pernah sesekali aku membaca tulisannya dari postingan status seorang teman maya. Itu kali pertama aku mengenal namanya. Sebatas kenal dan hei, aku menyukai gaya menulisnya. Sederhana tapi mengena dalam jiwa. Merasa relate dengan situasi yang terjadi pada diri, segera aku menekan tombol jempol pada postingan tersebut. Sepertinya temanku – yang bahkan aku tak tahu darimana circle pertemanan kami terkait, kawan masa kecil bukan, teman semasa sekolah juga tidak – itu juga menyukai gaya menulis dirinya, terlihat dari cukup seringnya dia mencatut tulisan-tulisan kepunyaannya.

Dari situlah semua bermula.

Tak hanya berhenti di sana, dalam flatform lain aku menemukannya. Tanpa sengaja. Tulisannya kembali mengambil hatiku. Tidak perlu berpikir dua kali aku pun mengikuti official blog miliknya, Kurniawan Gunadi.

Menyelusuri tiap tulisan yang telah dipublikasikannya. Membaca satu persatu, dan sampai pada satu halaman entah dipostingan yang mana, aku baru tahu kalau ternyata dia telah menerbitkan buku. Dua buku. Kemana saja aku selama ini, kenapa baru tau sekarang?

Satu dari dua bukunya lah yang ingin kubicarakan.

Lautan Langit.

Buku keduanya yang kupilih untuk lebih mengenal tulisan Mas Gun (begitu sapaan akrabnya). Katanya orang cerdas adalah orang yang mampu menjelaskan sesuatu secara sederhana. Nah dalam tulisan ini aku merasa begitu. Sederhana, manis sekaligus menyentuh. Meski sebagian besar isi buku ini berputar soal ‘menemukan-yang-namanya-pasangan-hidup’ Mas Gun mengemas itu semua dengan untaian kalimat sederhana namun membekas di hati pembacanya (apa hanya aku saja yang merasa begitu?) dan sama sekali tidak terlihat picisan. Selain itu dalam buku ini juga banyak kisah tentang cinta orang tua terhadap anak-anaknya dengan memberinya pesan-pesan bijaksana yang mampu membuatku mbremes mili dan jadi kangen sama keluarga. Salah satu judul tulisan yang ku maksud adalah “Sebelum Esok” dan “Nasihat Ayah”.

Lautan langit adalah kumpulan cerita yang dibagi dalam tiga part.

Ilustrasi cantik yang ada dalam tiap part menegaskan apa yang biasanya terjadi di pagi, siang dan sore hari. Ya, ketiga part tersebut adalah :

Pagi.

Memandang LANGIT DI KACA JENDELA membawa ingatanku akan NASIHAT AYAH kala itu, di hari SEBELUM ESOK kukemas koper, bahwa sejauh manapun langkah ini membawaku pergi, ingatlah satu hal yang pasti RESTU ORANG TUA harus selalu mengiringi. Agar nantinya perjalanan terlalui dengan ringan.

Jilbab yang baik adalah jilbab yang membuatmu bisa shalat tanpa mukena lagi, kamu bisa melaksanakan shalat dengan pakaian dan jilbabmu itu. Karena pakaian dan jilbabmu sudah memenuhi syarat sebagai pakaian untuk shalat. Menutup aurat. (Nasihat Ayah – Hal : 59)

Siang.

Nak,

Meski SEJUTA PASANG MATA memandangmu dengan tatapan miring, meragukan tampilan fisikmu, yang kata orang, kurang menarik. Kurang sempurna. Ketahuilah PASTI (AKAN) ADA seorang hawa yang menerimamu apa adanya, karena dia telah paham bahwa untuk MENCINTAIMU ADA CARANYA. Dia mengerti bersama kemudahan akan ada kesulitan. Bersama kelebihan BIASANYA selalu ada kekurangan. Dari sanalah dia belajar untuk senantiasa mengucap SYUKUR atas apa yang telah Tuhan gariskan dalam takdir hidupnya. Termasuk untuk menjadi istrimu, kelak.

Hawa itu mengusap bulir air yang membasahi pipinya dengan segera. Dia tak ingin calon suaminya mendapati dia menangis di hari bahagia mereka. Mungkin dia lupa, kalau suaminya tak mampu mengetahui gaun warna apa yang sedang dia kenakan sekarang. Dan bahwa dia telah tanpa izin membuka sepucuk surat yang berisi PESAN IBU KEPADA ANAK LAKI-LAKINYA TENTANG CINTA.

“Ada orang-orang baik yang sengaja dihadirkan dalam hidup kita hanya untuk menguji perasaan kita, bukan untuk menjadi pasangan hidup kita.” (Syukur – Hal:134)

Sore.

DENGAN CARA KITA SENDIRI, kita dapat MEMPERJUANGKAN mimpi. ORANG-ORANG YANG MENULIS apa yang menjadi mimpinya mungkin lupa bahwa selain daftar panjang tentang apa yang ingin diraih dan bagaimana cara menggapainya, ada satu cara yang tidak boleh dilewatkan, yakni MENJAGA DOA yang disertai usaha keras untuk dapat mewujudkannya.

“Rumah menjadi sesuatu yang paling sering kita tinggal pergi tapi selalu berhasil membuat kita merasa ingin pulang.” (Menjaga Doa – Hal : 177)

Sebagai penutup, jika ingin membaca tulisan ringan yang memiliki makna mendalam, yang syahdu untuk dinikmati dengan segelas teh hangat dan kudapan renyah, tidak usah ragu untuk memasukkan Lautan Langit dalam daftar bacaanmu selanjutnya.

“Perjalanan yang sesungguhnya adalah kepulangan bukan kepergian.”

Catatan :

Kata berhuruf kapital adalah judul dari beberapa kumpulan cerita yang paling kusukai dalam buku 203 halaman ini.

17. [Resensi] Seekor Anjing Mati di Bala Murghab

51rQ38oOgXL._SX348_BO1,204,203,200_

Alasan utamaku membawa pulang buku ini dari arena bookswap di IRF 2015 kemaren adalah ingin melihat bagaimana contoh cerpen yang berhasil masuk ke berbagai media nasional. Nama Linda Christanty yang menjadi penulis mengusik rasa ingin tahuku tentang seperti apa isi kumpulan cerpen di dalamnya. Sebelumnya gak pernah baca karya Mbak Linda (tapi udah sering dengar namanya), namun setelah membaca kumcer ini aku semakin yakin bahwa untuk dapat menembus media nasional yang menjadi incaran, cerpen yang ditulis haruslah memiliki kekhasan dalam penulisan serta memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial budaya yang terjadi di sekitar.

Ada sepuluh cerita dalam buku yang memiliki 129 halaman ini, yakni :

Ketika Makan Kepiting | Zakaria | Karunia dari Laut | Sihir Musim Dingin | Jack dan Bidadari | Perpisahan | Kisah Cinta | Pertemuan Atlantik | Seekor Anjing Mati di Bala Murghab | Catatan tentang Luta; Manusia yang Hidup Abadi

dan yang membekas (baca : yang paling dipahami jalan ceritanya) adalah tiga cerpen berikut :

Zakaria => suka dengan twist yang hadir di akhir cerita.

Kisah Cinta => tentang ‘bunuh diri’ yang terjadi di sebuah rumah.

Seekor Anjing Mati di Bala Murghab => pantas cerpen ini dipilih untuk menjadi judul dari kumcer. Cerpennya keren, mengambil latar di Afghanistan yang bermula dari seorang serdadu menembak mati seekor anjing tidak berdosa. Lewat kepiawaian Mbak Linda merangkai kalimat dengan bahasa yang sederhana, aku dapat ikut merasakan ‘kehilangan’ yang juga dirasakan Aref.

At least, buku kumcer ini (bukan) bacaan ringan yang dapat membuat kita sedikit berpikir, kira-kira ketika sedang menulis cerpen ini Mbak Linda sedang memberi perhatian pada isu-isu sosial budaya yang mana lagi ya.