43. [Resensi] Menjerat Gus Dur

Walau tinggal jauh dari ibu kota negara, ingatan masa kecilku masih merekam kejadian Mei 1998 dengan cukup baik. Tidak boleh keluar rumah, toko-toko yang tutup, harga-harga mulai naik dan televisi yang rutin menayangkan situasi terkini di Jakarta yang kian memanas.

“Oh mahasiswa lagi pada demo untuk menggulingkan kekuasaan 32 tahunnya Soeharto” aku memahaminya hanya sekadar itu. Namun lambat laun seiring bertambahnya usia dan bacaan aku mulai menyadari, peristiwa 21 Mei 1998 itu merupakan titik tolak perjalanan politik pemerintahan di Republik ini. Perjalanan pemerintahan transisi dari rezim yang sungguh otoriter menuju ke rezim demokrasi yang mengantarkan bangsa pada satu kata bernama Reformasi.

Reformasi menghadirkan perubahan pada politik negara ini, misalnya dengan tidak lagi dikuasainya pemilihan umum dengan tiga partai saja, melainkan munculnya banyak partai baru yang turut meramaikan ajang perebutan ‘kuasa’ lima tahunan tersebut. Era Reformasi pulalah yang mengantarkan Dr. K. H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menduduki kursi Presiden RI yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui hasil pemilu.  

*****

Menjerat Gus Dur adalah buku ‘sejarah’ yang memotret proses kelam demokrasi di Indonesia. Bagaimana seorang tokoh bangsa dilengserkan dengan beragam cara, salah satunya dengan ‘skenario’ semut merah (semer). Buku 376 halaman ini memaparkan sejarah politik Gus Dur yang lengkap karena turut melampirkan juga dokumen-dokumen penting – yang tadinya mau dibuang dan dikulakan ke tukang loak – mengenai proses pemakzulan Gus Dur sebagai seorang Presiden.

Rencana pelengseran Gus Dur ditengarai muncul sejak pemecatan Jusuf Kalla (Golkar) yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Laksamana Sukardi (PDIP) yang merupakan Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN. Dua tokoh penting dari dua kekuatan partai politik terbesar yang mengisi kursi DPR kala itu. Merasa tidak terima dengan keputusan dan kebijakan Gus Dur yang mengusik zona nyaman para politisi, mereka membuat tuduhan yang menyebabkan Gus Dur diberhentikan pada Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001. Gus Dur dituduh melakukan tindakan Inkonstitusional dan dituduh terlibat KKN dalam kasus Bruneigate dan Buloggate.

“Pemakzulan terhadap Gus Dur bukan karena perkara Brunei dan Bulog seperti yang dituduhkan selama ini. Gus Dur dilengserkan karena dihimpit politik dan tidak ada konstitusi yang dilanggar.” – Luhur Binsar Panjaitan (hal : 335)

“Lengsernya Gus Dur merupakan konspirasi elit politik yang merasa terganggu dengan cara berpikir dan langkah perubahan yang dilakukannya.” – Rizal Ramli (hal : 335)

Memorandum I (01 Februari 2001), Memorandum II (30 April 2001), Dekrit Presiden (23 Juli 2001) dan Sidang Istimewa MPR adalah bukti sejarah bagaimana para elit politik mencoba ‘MENJERAT GUSDUR’ dengan berbagai daya upaya. Mereka adalah barisan sakit hati yang kalah dalam pilpres, sisa-sia orde baru yang masih ingin berkuasa, poros tengah yang dulu mendukung Gus Dur kini berbalik melawannya, serta oknum TNI yang tidak senang dengan penegakan supremasi sipil (pencabutan dwifungsi ABRI).

Mereka menggalang kekuataan untuk pemakzulan Gusdur.

PS : setidaknya ada 40 nama yang tercatat (hal : 153 – 155) yang kontra dan ingin Gus Dur berhenti dari jabatannya sebagai Presiden.

*****

Tujuh bab yang ditulis runut dan sistematis dalam buku ini dapat menjadi bahan diskusi bagi para generasi kini yang tertarik dengan perkembangan politik negeri. Dibuka dengan narasi mengenai awal orde baru, reformasi, pemilu 1999 hingga diberhentikannya Gus Dur pada tahun kedua masa kepemimpinannya.

Meski singkat, pemerintahan pada era Gus Dur telah memberikan kontribusi berarti bagi negeri ini. Memberikan pengakuan atas kaum minoritas yang dulu hak-haknya tidak terpenuhi, seperti pada tionghoa Indonesia, kristen, dan masyarakat Papua. Gus Dur juga berupaya mendamaikan konflik berkepanjangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin lepas dari Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga melindungi kebebasan pers dengan harapan kebebasan bersuara akan menjadikan demokrasi ini berada pada track yang benar. Namun nyatanya, media pada masa itu masih juga berada di bawah bayang-bayang orde baru yang turut memersuasi masyarakat untuk terhasut akan tuduhan KKN yang dilakukan oleh Gus Dur.

Setelah membaca buku ini, kusadari banyak nama-nama elit politik yang masih eksis hingga kini. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik transaksional masih mengakar dan sulit dihilangkan, pun proses demokrasi masih jauh dari konsep idealnya. Tinggal bagaimana masyarakat sebagai rakyat yang memiliki hak suara, menggunakan haknya dengan bijak demi memilih pemimpin yang benar-benar mampu bekerja demi rakyat, bukan demi golongan dan kelompoknya.

42. [Resensi] Tuhan ada di hatimu

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali (Pasal 28E ayat 1 UUD 1945)”

Sudah selayaknya, perkara agama dan keyakinan pada Tuhan adalah urusan private setiap individu. Namun agaknya di Indonesia hal ini tidak berlaku. Perjalanan spiritual seseorang untuk menemukan Tuhannya sendiri (yang menurutnya paling benar dan baik serta sesuai nuraninya) yang kadang berujung dengan perpindahan, seringkali dibingkai media dengan narasi yang mengundang click bait. Kata-kata seperti ‘mendapat hidayah’, ‘menemukan jalan terang’, ‘tidak lagi tersesat’ adalah frasa yang sering ditemui dalam berita-berita mereka yang memutuskan pindah agama. Belum lagi kemungkinan dikucilkan dari pihak keluarga yang tidak setuju dengan keputusan tersebut.

Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia mengajarkan kepada penganutnya untuk berhubungan baik dengan siapapun tanpa memandang status keberagamannya. Namun akhir-akhir ini banyak juga ditemui oknum yang mengaku Islam tapi tidak dapat menerima perbedaan bahkan perbedaan dalam mahzab Islam sekalipun. Fenomena ini bisa jadi dipengaruhi oleh makin maraknya gelombang ‘hijrah’ yang menyiratkan untuk kembali merujuk pada Al-Quran dan Hadist.

*****

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan (QS. Al-maidah : 48)”

Aku mengetahuinya tanpa sengaja, sebab sebuah rekomendasi video dari influencer yang aku ikuti dalam youtube. Tayangan berjudul ‘muslim mayoritas kok mental minoritas’ dan ‘menjadi minoritas Muslim di Eropa’ menjadi pembuka yang mengenalkanku pada seorang Habib Husein Ja’far Al-Hadar. Seorang pendakwah yang menyasar generasi milenial sebagai pendengarnya. Dari sanalah aku juga tahu bahwa Beliau menulis sebuah buku, yang langsung menjadi to be read ku selanjutnya.

Tak di Ka’bah, di Vatikan, atau di Tembok Ratapan, “Tuhan Ada di Hatimu”

Simbol dan agama adalah dua hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Sebagian masyarakat masih menganggap jika simbol suatu agama digunakan dan tampak kasat mata maka tingkat kesalihan orang tersebut sudah di atas rata-rata. Padahal faktanya tidak seperti itu juga, penggunaan simbol bukan ukuran mutlak ketaatan orang terhadap Tuhannya. Itu yang coba dijelaskan oleh Habib Husein dalam buku 203 halaman ini.

Terdiri dari empat Bab yang membawahi sub bab setelahnya, buku ini memotret fenomena hijrah dan pemahaman sebagian masyarakat kita bahwa Islam adalah agama hukum yang melabeli ‘semuanya’ dengan halal – haram.

Dimulai dengan Bab Hijrah.

Aku memperoleh wawasan baru dalam bab ini mengenai sekte Khawarij (sekte yang tidak menginginkan adanya perdamaian yang dilakukan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah). Sekte ini memiliki ciri-ciri :

1. Menempatkan politik di atas kemanusiaan.

2. Gemar mengafirkan yang lain.

3. Fanatik terhadap apa yang mereka anggap benar.

4. Mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Sounds familiar, bukan?

Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Aamiin.

Habib juga menggarisbawahi perihal hijrah, bahwa jika kita berhijrah menuju Allah maka sebaiknya juga berbanding lurus dengan hijrahnya sikap kita pada sesama manusia. Tidak dengan mudahnya menjustifikasi seseorang yang kita anggap belum berhijrah sebagai orang yang ‘sesat’, dan bukan pula semakin mengekslusifkan diri sebagai orang yang paling benar dan hanya mau bergaul dengan yang sepemahaman.

Selanjutnya adalah Bab Islam Bijak, Bukan Bajak

Habib menyoroti tentang bisakah agama dinista dan Tuhan dibela?

Persis seperti kejadian beberapa tahun silam yang cukup menyita perhatian. Kasus (yang menurut sebagian orang) penistaan agama yang dilakukan kepala daerah. Memang sudah kewajiban kita untuk membela Tuhan, namun pembelaan seperti apa dulu yang dimaksud. Jangan-jangan bukan Tuhan yang dibela, tapi ego kelompoknya sendiri.

“Pembelaan atas nama Tuhan sebenarnya hanyalah pembelaan atas ego suatu kelompok saja (Halaman : 74)”

Beliau memaparkan tentang anggapan orang-orang yang sering salah memaknai kata ‘menolong dan membela Tuhan’.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad 47 : 7)”

Pernah dengar pernyataan ini sebelumnya?

Benar belum tentu baik, begitu juga sebaliknya.

Kita menyakini bahwa nilai-nilai agama yang kita anut membawa kebenaran untuk kita, namun apakah kita sudah menyampaikan nilai-nilai itu pada orang lain dengan cara yang baik dan juga indah? Bukan semata menakut-nakuti mereka dengan konsep surga – neraka, pahala – dosa?

“Untuk menjadi bijak, kita tak hanya butuh kebenarannamun juga kebaikan dan keindahan”

Dalam Bab Akhlak Islam Habib ingin menekankan bahwa dalam Islam, akhlak adalah suatu yang sangat esensial. Nabi Muhammad SAW diturunkan juga untuk memperbaiki akhlak masyarakat pada masa itu. Akhlak yang santun, menghargai perbedaan, tidak menganggu/menyusahkan orang lain dan berlaku adil adalah beberapa sikap Nabi yang harusnya kita tiru.

Bukan hanya demi menyambut seorang tokoh pujaan sampai menyusahkan orang lain dan mengganggu fasilitas umum.

Terakhir, Habib menulis Bab Nada, Canda dan Beda yang bercerita tentang beberapa kegiatan yang disinyalir tidak diizinkan (haram) dalam hukum Islam menurut sebagian orang. Jatuhnya hukum haram tersebut menurut mereka karena kegiatan itu (melukis, menyanyi, mendengarkan musik, nonton bioskop, dll) membawa kemudharatan dan kesia-siaan jika dilakukan. Padahal banyak juga ulama yang membolehkan kegiatan tersebut dilakukan. Perbedaan pendapat dan pemahaman seperti itu lumrah adanya, asal jangan dibubuhi dengan ‘pemaksaan’ dan justifikasi bahwa orang yang berbeda paham berarti kafir atau sesat.

*****

“Jika Tuhanmu berkehendak, niscaya Dia akan menjadikan semuanya berada dalam satu agama, namun Dia menghendaki agar memilih, dengan tujuan untuk mewujudkan prinsip keadilan terkait pahala dan hukuman. Setelah menentukan pilihan, mereka masih tetap berselisih karena selalu mengikuti hawa nafsu (QS. Hud : 118)”

Perbedaan adalah keniscayaan yang memang Tuhan ciptakan, agar kita dapat saling mengenal dan belajar bertoleransi satu dengan lainnya. Keberagaman membuat hidup tak melulu soal hitam dan putih, ada warna cantik lainnya yang menjadikannya indah. Pun dalam memahami konteks ajaran agama yang dianut, akan selalu ada perbedaan. Namun siapa yang paling benar menerapkan ajaran yang sesuai Al-Quran dan Hadist, hanya Allahlah yang berhak menilainya. Aku, kita, sebagai manusia tidak punya hak untuk menjadi Tuhan dan menghukum seseorang hanya karena berbeda.

Agama tidak sekadar simbol, ritual ibadah, lalu mengabaikan hal-hal dasar dari agama itu sendiri. Akhlak, menebarkan kebaikan bukan ketakutan, memudahkan penganutnya bukan malah mempersulit, menghargai perbedaan dan menjadi sumber bahagia untuk orang-orang di sekeliling. Karena bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

Pada akhirnya aku merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang ingin mengenal dan mengetahui wajah Islam yang asyik, yang tidak mengusik dan menghargai pluralistik.

“Dakwah kita pun bukan modal tahu teks agama, tapi konteks masyarakat. Harus memberi solusi bukan hanya menghukumi. Harus bertahap, bukan melahap. Harus membaru, bukan membentur. Harus memahami, bukan hanya mencekoki (Halaman : 177).”

41. [Resensi] Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?

Jujur, hal yang membuatku memutuskan untuk membeli adalah karena judulnya yang sesuai dengan pikiranku beberapa tahun silam. Pikiran yang bernada : “Jika aku mati nanti, kira-kira siapa yah yang datang untuk melayatku? Serta siapa pula yang benar-benar menangis sedih atas kepergianku?” (kecuali keluarga, dan teman-teman dekat yah). Pertanyaan terakhir sih terinspirasi dari drama korea 49days.

Kemudian aku menemukan buku ini, Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? sebuah buku tulisan Kim Sang hyun, merupakan sebuah buku self improvement yang mengajak pembaca untuk merenungi dan memaknai hidupnya sekarang.

*****

“Kematian yang sesungguhnya terjadi ketika tidak ada seorang pun yang mengenangnya (Hal : 83)”

Jika kematian tidak hanya dimaknai dengan lepasnya jiwa dari raga, maka sesungguhnya setiap orang tidak akan pernah ‘mati’. Setidaknya dia akan terus hidup selama masih ada orang yang mengingatnya. Mengenang sosoknya.

Buku 165 halaman ini mencoba mengajak pembaca untuk menjadi persona yang tetap dikenang walaupun jiwa telah kembali pada Pemilik-Nya.

Caranya?

Dengan tetap berusaha menjadi orang yang baik.

Terdengar klise ya? memang, tapi siapa sih di dunia ini yang tidak ingin hidupnya dikelilingi oleh orang-orang baik? lalu how to be a kind person?

Baik pada diri sendiri, kupikir itu adalah cara pertama.

“Kehidupan? Pada akhirnya, kita akan hidup sendirian. Tahun-tahun akan berlalu begitu saja. Jadi, jangan hanya berdiam diri. Lakukan apapun yang ada dalam pikiranmu. (Hal : 29)”

Pernah dengar istilah ‘people pleaser’ ?

Ya, mereka adalah orang-orang yang senang membuat orang lain senang. Bukankah itu hal yang bagus? Iya sih bagus kalau mereka menyenangkan hati orang lain itu dengan ikhlas tanpa ada tendensi apa-apa di baliknya. Tapi, seringkali ‘people pleaser’ ini melakukannya karena ada ‘rasa khawatir’ yang menjadi alasan.

Khawatir dan takut ditolak oleh orang sekitarnya. Khawatir dan takut diabaikan. Khawatir dan takut karena telah berutang budi pada orang lain. Khawatir dan takut tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Inilah yang berbahaya dari ‘people pleaser’.

Jika telah mengenal diri sendiri dengan baik, semua respon positif atau tanggapan negatif orang lain mengenai diri ini tidaklah terlalu perlu diambil hati. Diri sendiri sudah tahu memilah mana yang kira-kira baik untuk perkembangan jiwa dan mana yang hanya rasa ingin tahu orang-orang di sekitar.

“Semua fakta dan kebohongan yang ada di sekelilingmu itu tidaklah penting, karena pada dasarnya, manusia memang hanya bisa melihat apa yang ingin mereka lihat. (Hal : 44)”

*****

Walau terkesan dark dan gloomy, buku ini punya daya magis menenangkan. Setiap uraian masalah atau ungkapan perasaan yang ditulis oleh si penulis, setidaknya pasti juga pernah dialami oleh kita. Jadi seperti membaca sekilas pikiran sendiri. Semua emosi itu nyata adanya dan tidak bertahan selamanya. Sedih, bahagia, menyesal, bersyukur, rasa itu silih berganti datang di dalam hidup. Dan kita sebagai manusia haruslah menghadapinya dengan berani dan terus berupaya memperbaiki diri agar dapat hidup sesuai dengan yang kita inginkan.

Memang benar adanya pola pikir berperan sangat besar dalam hidup kita. Bagaimana kita memandang hidup yang telah, sedang dan akan kita jalani nanti. Kita seringkali terlalu antusias merancang masa depan hingga lupa berdiam sejenak dan mensyukuri apa yang terjadi hari ini. Saat ini. Kini. Sekarang. Atau kita kerap melintasi waktu masa lalu dengan pengandaian. What If.

‘Andai waktu itu aku mengatakannya, apakah aku tidak akan menyesal seperti sekarang?’

‘Jika saat itu aku tidak melakukannya, apakah hidupku tidak akan seperti ini?

Andai dan jika, padahal diri sendiri tahu, yang dapat dilakukan oleh masa lalu di masa sekarang adalah, terima, petik pelajarannya dan hiduplah dengan itu. Berdamai.

*****

Terdiri dari Empat Bab yang masing-masing babnya bercerita tentang perasaan/emosi yang dialami oleh si penulis dalam menjalani hidupnya. Bab pembuka diberi nama : Kesalahan. Selanjutnya ada Hati yang Hilang, Sejarah dan ditutup dengan Semoga itu Kebahagiaan. Membaca buku ini dalam sekali duduk tidaklah sulit, hanya saja menurutku akan lebih meresapinya jika setelah membaca satu atau beberapa judul, dapat jeda sejenak untuk merenungi apakah selama ini aku telah menjalani hidupku dengan benar? apakah aku cukup mengenal diri sendiri dengan baik?

“Jika melihat ke belakang, apakah aku yang dahulu akan iri atau malah bangga pada aku yang sekarang? Kuharap, diriku yang dulu bangga pada aku yang sekarang. Kuharap, diriku ini tidak lagi terobsesi dengan masa lalu. Semoga semua momen bisa kuingat sebagai kenangan indah. Kumohon, semuanya. (Hal : 48)”

Dan pada akhirnya akan tiba pada sebuah pertanyaan

“Apakah bahagia yang menjadi tujuan hidupku?”

40. [Resensi] Sister Fillah, You’ll Never Be Alone

Perempuan itu…

Karier terbaiknya boleh apa saja yang ia lakukan sesuai kemampuan, kebutuhan, passion dan kehendak sadarnya dalam memilih prioritas dalam hidup.

Bayaran terbaiknya adalah hak yang setara atas apa yang telah ia kerjakan dan rasa bangga dari pasangan serta anak-anak yang ikut mendukungnya.

Prestasi terbaiknya adalah pikiran, daya kreatif dan pengabdian yang ia berikan dengan penuh dedikasi pada pilihan-pilihan yang ia ambil secara sadar. (Hal : 58)

Sister Fillah, You’ll Never Be Alone adalah buku Kalis yang ketiga yang selesai kubaca. Tidak berbeda dengan dua buku sebelumnya (Hijrah jangan jauh-jauh nanti nyasar dan Muslimah yang diperdebatkan) Kalis masih menyoroti soal perempuan. Kali ini Kalis mem-break down masalah-masalah yang kerap dihadapi oleh para perempuan berdasarkan 10 pengalaman perempuan yang mesti dipertimbangkan dalam konsep kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan agama, maupun kebijakan negara yaitu :

  1. Lima pengalaman biologis perempuan : menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui
  2. Lima pengalaman sosial perempuan : stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda. (Halaman : XV)

Ada 21 tulisan atau artikel yang terdapat dalam buku ini. Beberapa diantaranya pernah muncul di laman media sosial milik Kalis. Beragam topik yang Kalis paparkan dalam buku ini, seperti tentang pakaian/jilbab, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dakwah Islam yang menganut cara pandang patriarki, otoritas tubuh perempuan, pendidikan sex dan RUU PKS hingga cerita perempuan dan perdamaian.

Yang menjadi favoritku adalah :

Tafsir Muslimah Progresif dan Harapan Untuk Asama

Adalah Asama, seorang perempuan Thailand yang mualaf dan ingin mempelajari Islam dengan baik dan benar. Namun begitu kalimat syahadat diucapkan, Asama dihadapkan dengan label halal – haram, surga – neraka dan sejumlah produk hukum yang tidak ia mengerti. Ia ingin berislam dengan memahami betul makna sebuah perintah atau larangan agar dia dapat beribadah dengan penuh kesadaran dan ikhlas.

“Seseorang sering mengklaim kebenaran atau merasa benar sebab ia tidak melihat hal lain di luar dirinya.” (Hal : 12)

Ragam Jilbab di Indonesia

Perbincangan seputar jilbab bukanlah hal baru lagi di Indonesia. Surah An Nur ayat 31 adalah surah yang sering disebut sebagai landasan perintah ‘wajib’ berjilbab untuk menutup aurat. Namun konsep aurat sendiri di mata para ulama berbeda-beda. Apakah aurat yang dimaksud sama dengan aurat yang harus ditutupi saat akan melaksanakan shalat?

Gambar dari google, edited by me.

Meme Akun Dakwah yang Mengontrol Pilihan Perempuan

Tentang sebuah postingan yang dirasa menyudutkan perempuan. Seakan-akan perempuan ‘tidak boleh’ memilih apa yang ingin dia lakukan dan nasib perempuan yang terbaik digantungkan pada apa-apa yang di luar dirinya (yang bisa saja bukan merupakan keinginannya).

“Bukankah seharusnya dakwah tak hanya soal kebenaran, tapi juga soal etika dan tepa salira?” (Hal : XX)

Text Based atau Dalil Based

“Kita mengimani Islam sebagai nilai-nilai yang sahih di segala zaman dan ruang. Di Indonesia, Islam tumbuh bersama tanah dan air Indonesia. Islam tumbuh bersama ruang budaya tutur, budaya gerak, dan budaya nilai yang mengilhami manusianya” (Hal : 88)

*****

Dalam buku ini Kalis memotret beberapa fakta sosial yang menjadi contoh bagaimana ‘ketidakadilan dan ketimpangan’ sering menghampiri pada perempuan. Misalnya saja dalam hal berpakaian ataupun berdandan. Perempuan yang menghias wajahnya dengan pulasan make up dianggap suka menarik perhatian laki-laki. Perempuan dengan cadarnya mendapat label ‘aneh’ dan ‘teroris’. Padahal selama pakaian dan make up tersebut membuat perempuan itu nyaman dan sebagai wujud ‘mencintai dirinya sendiri’ itu bukanlah hal yang salah.

Belum lagi dalam dunia kerja, seprofesional apapun cara kerjanya, secerdas dan sepintar apapun dia, tapi dia tidak dapat menduduki jabatan-jabatan strategis, hanya karena dia perempuan. Yah, semoga hal-hal picik semacam itu tidak banyak lagi terjadi pada era digital 4.0 ini.

Lalu, masih ingatkah pada Ibu Baiq Nuril yang mencari keadilan dengan melaporkan pelecehan yang dialaminya, malah berbalik dilaporkan sebagai tersangka pencemaran nama baik oleh si pelaku yang merupakan atasannya. Sempat kalah dipersidangan, akhirnya Ibu Baiq Nuril dapat merasakan kebebasan setelah Presiden Jokowi meneken Keppres Amnesti.

“…akar tindakan kekerasan seksual adalah sebuah dominasi dan sebuah kuasa yang memandang rendah kualitas kemanusiaan seseorang. Kuasa itu bersarang di mana saja: pada jabatan, pada akumulasi modal, dan label-label identitas sosial, yang ternyata cukup kelimpungan menghadapi suara-suara perlawanan yang bersahutan” (Hal : 64)

Bukankah kekuasaan sering kali adalah milik mereka yang lebih punya materi dan posisi ?” (Hal : XXI)

Itu sebabnya, RUU PKS sebaiknya segera disahkan agar ada payung hukum yang dapat melindungi para korban pelecahan dan kekerasan seksual. Eh tapi kabar terbarunya malah, ditarik dari Prolegnas Prioritas sama DPR. Duh….

“Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Polemik Penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020”, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/02/08101271/polemik-penarikan-ruu-pks-dari-prolegnas-prioritas-2020?page=all.

*****

Yang agak mengangguku saat membaca buku ini adalah warna yang merah marun? Atau merah muda? (sungguh aku kadang bingung membedakan berbagai jenis turunan warna merah) yang sebagian besar mengisi halaman buku ini. Mungkin ini karena efek pencahayaan kamarku saja yang redup, jadi semakin gelap rasanya ketika mata ini membaca tulisan yang latarnya berwarna penuh satu halaman. Mungkin itu pula yang menyebabkan mengapa harga bukunya ‘agak mahal’ untuk buku yang memiliki 126 halaman.

Btw, kenapa warna yang dipilih adalah merah menyerupai pink yah? kenapa bukan biru, kuning, atau hijau? apakah karena buku ini tentang perempuan? Perempuan diidentikan dengan warna pink bukan? Tapi bukankah pink untuk perempuan dan biru untuk laki-laki itu ada sebab konstruksi gender?

Gambar dari google, edited by me

Ah iya, buku ini juga dilengkapi indeks yang memudahkan pembaca untuk menemukan suatu topik pembicaraan atau untuk memahami sebuah kata yang belum dimengerti.

39. [Resensi] Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Tersebutlah Cak Dlahom, seorang yang tinggal di sebuah desa. Dia dianggap ‘gila’ karena tingkahnya sehari-harinya yang bikin geleng-geleng kepala. Tidur di kandang kambing dengan seekor anjung, telanjang di depan mimbar masjid, berjalan-jalan dengan lebah, pun berbicara pada batu. Namun di balik itu, sering dia melontarkan ‘pemikiran-pemikirannya’ yang kesannya sepele tapi rupanya substansif, menggelitik dan menyadarkan orang-orang tentang pemahamannya mengenai Islam. Itu sebabnya, Mat Piti (sahabatnya) merasa bahwa Cak Dlahom tidaklah gila seperti kata orang-orang. Tak hanya mereka berdua yang menjadi tokoh, ada Romlah, Pak RT, Cak Dullah, Pak Lurah serta lainnya yang turut mewarnai kisah sufi dari Madura ini.

Kisah-kisah ini sejatinya merupakan tulisan berseri yang tayang pada masa Ramadan selama 2 tahun di situs web mojok.co. Karena tingginya animo pembaca tentang cerita keseharian Cak Dlahom maka tulisan-tulisan tersebut dikonversi menjadi buku 226 halaman.

*****

Buku ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

RAMADAN PERTAMA

Berisi 14 kisah, beberapa diantaranya menjadi kesukaan dan membuatku berpikir “Oh, iya juga ya?” atau “Berarti hanya perlu mengubah sudut pandang untuk dapat melihat esensi dari sebuah perbuatan?”. Seperti yang kutemukan pada kisah :

“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kau tulis di pembukuan laba rugi kehidupanmu. Ilmumu kau gunakan mencuri dan membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya…”

(Ikan Mencari Air, Mat Piti Mencari Allah – Hal : 24)

“Kencing dan berak itu amalmu, Mat. Kamu mengeluarkan sesuatu dari badanmu dengan tidak menahan-nahannya dan segera melupakannya. Tidak mengingat-ngingat bau, warna dan bentuknya seperti apa. Kamu menganggap kencing dan berak tidak penting, meskipun mengeluarkan sesuatu yang sangat penting bagi lambung atau ginjalmu. Buat peredaran darahmu. Untuk kesehatanmu.”

(Menghitung Berak dan Kencing – Hal : 42)

“Hidup bisa menjadi asin (berat) atau menyegarkan (ringan) tergantung manusia menempatkan hatinya. Menjadi sebatas air di gelas atau seluas air di telaga.”

Masalah Manusia Sama : Sekepalan Tangan – Hal : 50)

Tak hanya itu, Rusdi Mathari melalui tokoh Cak Dlahom juga menyampaikan pesan tersirat untuk menerima diri sendiri dengan sadar dan utuh. Menikmati tiap peran yang diberikan oleh Sang Dalang.

*****

RAMADAN KEDUA

16 cerita yang muncul pada bagian ini menghadirkan tokoh baru yaitu : Nody, Gus Mut dan Marja. Seperti pada Ramadan Pertama, aku memiliki beberapa kisah yang menyita perhatian, yaitu :

“Kita rajin berdoa di masjid, lalu merasa bertemu dengan Allah. Padahal ketika Allah kelaparan, kita tidak pernah memberi makan. Allah sakit, kita tidak menjenguk…”

(Dia Sakit dan Kamu SIbuk Membangun Masjid – Hal : 141)

Kemudian kisah yang diberi judul, ‘Matikan Dirimu, Kenali Dirimu’ yang menjadi reminder bagi diriku bahwa nafsu yang diberikan Allah pada manusia, baik nafsu malaikat maupun nasfsu setan, haruslah dikendalikan. Aku jadi teringat sebuah kalimat yang dulu sering diucapkan Budeku sewaktu aku masih kecil. Kalimat yang dulu tidak kumengerti maknanya, “KEMENANGAN TERBESAR MANUSIA ADALAH MAMPU MENGENDALIKAN HAWA NAFSU”. Kini aku dapat memahami secara utuh, bahwa dengan mampu mengendalikan hawa nafsu itu, aku belajar untuk mengenal diriku sendiri, kemudian aku akan mengenal Tuhanku.

*****

Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya menjadi semacam ‘alarm’ untuk memahami dan memaknai ulang niat ibadah yang telah dilakukan. Sudah benarkah sesuai dengan esensinya? Apakah aku sudah benar-benar ikhlas melakukannya tanpa ada pamrih yang menyertainya? Atau apakah benar aku seorang muslim? Bagaimana jika aku hanya mengaku-ngaku saja.

Karena buku ini adalah kumpulan cerita, maka tidak perlu terburu-buru untuk menyelesaikannya dalam sekali duduk. Kamu juga boleh membacanya secara acak, memilih judul cerita mana yang kira-kira menarik hatimu. Namun apabila kamu terlalu penasaran dengan pola pikir dan tingkah ‘jenaka’ Cak Dlahom, segera menamatkannya pun tidak mengapa.

PS : Ada sedikit ‘plot twist’ diakhir cerita Ramadan Pertama ^^

38. [Resensi] The Wisdom Of Sundays

Agama seperti peta. Dia dapat membantu Anda menemukan cara mencapai tempat yang Anda inginkan. yang dilakukannya hanyalah menunjukkan cara menuju ke sana. Hanya peta semata. Spiritualitas berarti berserah, saya menyerahkan semua untuk Semesta (DR. Maya Angelou – 226)

*****

Aku tidak pernah menonton Super Soul Sundaynya Oprah Winfrey, tapi aku pernah sesekali nonton The Oprah Winfrey Shownya yang sempat tayang di Metro TV dan aku menyukainya. Makanya begitu tahu kalau Oprah menerbitkan buku (apalagi buku ini direkomendasikan youtuber yang kuikuti) jadilah aku penasaran.

Thank God, buku ini ada di Gramedia Digital jadi gak perlu menghabiskan uang Rp105.000,00 demi bisa membaca buku ini. Cukup Rp18.000,00/bulan dikali dengan lima orang (bisa patungan bareng teman yang suka baca juga) maka akses penuh ke banyak koleksi buku dan majalah bisa didapatkan. Murah bukan? Lho kok jadi promoin Gramedia Digital, hehe..

The Wisdom Of Sundays merupakan kumpulan perbincangan Oprah Winfrey dengan tamu-tamunya yang luar biasa dari beragam profesi (meski sebagian nama-namanya baru aku dengar – duh wawasanku huhu). Mereka bicara perkara jiwa, spiritualitas dan banyak hal tentang kehidupan.

Buku ini terdiri dari 10 Bab di antaranya ada bab tentang : Pencerahan, Karsa, Ego, Rahmat dan Rasa Syukur, Kepenuhan dsb. Beberapa tamu yang namanya pernah kutahu dan atau bukunya pernah baca, seperti : Paulo Coelho, DR. Maya Angelou, Shonda Rhimes, Jack Canfield, Malala Yousafzai, Gary Zukav, Presiden Jimmy Carter dan masih banyak lagi. Pun buku ini mencoba mengajak pembaca untuk berdamai dengan masa lalu, berteman dengan masa kini dengan cara sadar dan utuh atas keberadaan diri disaat ini. Pun meyakini bahwa hidup akan tetap baik-baik saja selagi rasa percaya masih ada. Bersyukurlah atas apa yang sedang terjadi. Temukan pelajaran yang tersembunyi dari tiap kejadian yang baik-buruk. Gak mungkin Tuhan mengizinkan peristiwa itu terjadi kalau gak ada ‘misi suci’ besertanya.

Jika ingin menambah asupan gizi untuk perkembangan jiwa dan raga, bolehlah baca buku ini. Pesan yang disampaikan agak tersirat tapi masih mudahlah untuk dipahami. Yang penting lagi isinya gak menggurui, paling hanya berupa ajakan untuk mulai menyadari banyak hal-hal sederhana yang patut kita syukuri dalam hidup ini.

Misalnya dengan membuat semacam gratitude journal. Cukup tuliskan tiga hal, rutin selama 21 hari. Hanya saja, tiga hal itu harus selalu berbeda disetiap harinya. Layak dicoba kan? Jadi bisa dibayangkan akan ada 63 hal yang kita syukuri. Hal-hal yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita. Kalau ternyata ada lebih dari tiga yang mau kita tuliskan, bagaimana? Yah malah lebih bagus lagi. Bersyukur membuat kita menyadari bahwa sejatinya tidak ada yang benar-benar kita miliki di dunia ini.

*****

Aku agak terganggu dengan beberapa penempatan foto-foto yang menjadi latar dari tulisan. Warna dan font yang digunakan kurang nyaman gitu diliat oleh mata, seperti pada halaman 56 (karena Gramedia Digital telah memproteksi aplikasinya agar tidak dapat menangkap layar, jadi aku tidak bisa mencapturenya. Proteksi ini bagus sih, biar meminimalisir peredaran buku bajakan). Pun aku agak risih dengan spasi antar kalimatnya yang terlihat rapat. Aku tidak tahu apakah ‘kerisihan’ ini berlaku serupa atau tidak jika aku membacanya melalui buku fisik.

Karsa adalah kualitas kesadaran yang Anda bawa ke dalam tindakan atau perkataan. Karsa adalah energi (Gary Zukav – Hal : 48)

Kemanusiaan adalah bagaimana kita turut merasakan dan memahami kesedihan orang lain dengan hadir di sana (Hal : 206)

Setelah kedua hal yang sedikit mengurangi kenyamananku dalam membaca telah aku tuliskan, sekarang aku akan mengungkapkan apa yang kusuka dari buku ini, selain isinya tentu saja. Pertama, banyaknya kalimat-kalimat yang dapat dikutip lalu diulang-salin dan dibagikan ke berbagai platform media sosial. Kedua, adanya semacam index yang dapat memudahkan pembaca untuk melacak yang ingin dia cari. Mau tau Jack Canfield obrolin soal apa saja sama Oprah Winfrey, sila beranjak ke halaman berapa, bab berapa.

*****

37. [Resensi] Pasung Jiwa

Sejak kecil Sasana merasa terperangkap dalam banyak hal.

Tubuh, sekolah, keluarga.

Dia tidak suka dengan tubuhnya, karena gara-gara itu sang ayah memasukkannya ke sekolah khusus.

Sekolah yang memperlakukannya dengan tidak ramah. Dia mengalami perundungan.

“Ada satu anak jenderal, satu anak pejabat. Kasusnya tidak bisa diproses,” jawab Ayah datar.

“Hah? Anak kita disiksa seperti anjing lalu pelakunya tidak bisa diproses?! (Hal – 42)

Sejak peristiwa itu, Sasana semakin tidak menyukai tubuhnya. Hingga saat dia menjalani perkuliahan di Malang dan bertemu dengan seseorang, akhirnya dia menemukan ‘kebebasan’ atas tubuhnya sendiri.

Jaka Wani alias Cak Jek adalah orang yang berjasa ‘membebaskan tubuh’ Sasana menjadi Sasa. Bersama mereka bermimpi untuk menjadi ‘pengamen’ profesional dari satu panggung ke panggung lainnya. Bertemu dengan musisi jalanan yang menyuarakan keadilan, Cak Man, Memed dan Leman.

Semua orang akan memanggilmu Sasa. Sasa sang Biduan. Sasa bintang dangdut kita (Hal – 56)

Konflik semakin mencuat ketika Cak Man meminta bantuan Sasa dan Cak Jek mencari Marsini (anak sulungnya) yang raib tanpa kabar sesuai melakukan demo menuntut kenaikan upah buruh. Dari sinilah perjalanan panjang Sasa dan Cak Jek dimulai. Perjalanan untuk membebaskan jiwa dan raga mereka dari apa-apa yang telah memasungnya selama ini. Aturan, norma kesusilaan, agama, dan juga kekuasaan. Apakah akhirnya mereka dapat bebas? Bacalah sendiri dan temukan banyak kalimat satire dan fenomena yang lekat dengan keseharian.

“Hidup baruku dimulai. Hidupku yang ketiga. Hidup pertamaku dimulai saat aku dilahirkan, lalu aku mati di sekolah laki- laki. Hidup keduaku dimulai saat aku  bertemu Cak Jek hingga aku dikubur di rumah sakit jiwa. Sekarang aku mendapat kesempatan ketiga. Tak akan aku sia-siakan.” (Hal : 229)

*****

Ini adalah kali pertama aku membaca tulisannya Okky Madasari, penulis yang menjadi pemenang dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2012 dengan novelnya Maryam. FYI, Khatulistiwa Literary Award adalah sebuah penghargaan sastra untuk mengapresiasi para penulis Indonesia dengan memberikan dana yang memadai sehingga dapat membantu meringankan beban para penulis. Terima kasih kepada seorang rekan yang memberikanku buku ini sehingga aku bisa membacanya dalam event Juni Reading Challenge yang diselenggarakan melalui twitter.

Pasung jiwa adalah novel yang jujur tentang bagaimana menampilkan ‘pergulatan batin’ para tokohnya yang mencoba untuk hidup bebas dengan dirinya sendiri. Walau itu artinya mereka bisa dianggap menjadi sosok devian di tengah-tengah masyarakat. Dianggap sebagai perusak tatanan norma dan aturan sehingga harus dirawat dalam sebuah rumah sakit jiwa atau sampah masyarakat penyebar penyakit.

“Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda.” (Hal : 146)

PSK, pengamen, preman, dan buruh pabrik adalah segelintir profesi yang tidak pernah menjadi impian kebanyakan orang. Namun demi membuat perut tetap kenyang, profesi ini akan selalu ada di masyarakat manapun. Profesi yang biasa identik dengan golongan masyarakat menengah ke bawah yang berupaya hidup dengan penghasilannya perhari atau perminggu. Novel ini memotret fenomena itu. Ditambah lagi dengan konsep keadilan yang masih jauh ketimpangannya. Di lapangan, teori dan prakteknya sungguh berbeda. Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat? Sepertinya tidak, keadilan dapat dikendalikan dengan kekuasaan dan juga uang. Aku juga suka bagaimana cara Okky mendeskripsikan tentang ‘preman berjubah putih’. Tentang bagaimana mereka merasa telah bekerja menegakkan ajaran agama padahal mereka menggunakan kekerasan dan perusakan demi melakukan ‘dakwah amar ma’ruf nahi munkar’, katanya.

Novel 321 halaman ini merangkum setiap fenomena yang dekat dengan keseharian masyarakat dan merajutnya dengan baik. Tentang stereotipe masyarakat mengenai orang-orang yang dianggap ‘menyimpang’ dan menyalahi kodrat. Bicara soal kekuasaan dan uang yang ‘membungkam’ hak asasi masyarakatnya untuk menuntut keadilan. Dalam salah satu bagian novel juga mengambil waktu tahun 1998, era terjadinya reformasi di negeri ini. Era kebangkitan untuk bersuara, untuk melawan ketidakadilan.

36. [Resensi] Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!

Hari ini aku merasakan bahwa apa-apa yang tidak ‘seragam’ dapat dimaknai ‘dosa-haram-masuk neraka’ oleh sebagian golongan. Padahal bukannya Tuhan memang sengaja menciptakan kita beragam agar dapat saling mengenal.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal  (QS. Al-Hujurat :13)”

******

20200127_150742_0000

Mungkin sejak Sekolah Dasar setidaknya kita pernah mendengar kata ‘Hijrah’ dalam mata pelajaran Agama Islam. Sebuah kata yang lekat dengan cerita pada zaman Rasulullah dalam rangka menyebarkan agama Islam.

Berdasarkan KBBI Offline : Hij-rah 1 n perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dsb dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2 v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dsb). Dewasa ini, penggunaan kata Hijrah kian marak mengemuka. Setidaknya empat lima tahun ke belakang. Entah apakah hijrah hari ini bermakna sama dengan hijrah seperti pada zaman Nabi. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi yang juga mendukung ‘gerakan’ hijrah semakin besar.

Apakah itu sebuah fenomena yang baik dimasyarakat? Atau malah buruk?

*****

Hijrah jangan jauh-jauh, nanti nyasar!

Adalah judul buku tulisan Kalis Mardiasih yang menyoroti tentang fenomena hijrah pada masa kini. Memiliki 208 halaman, Kalis mengupas persoalan hijrah yang erat kaitannya dalam keberagamaan, yang karena ulah beberapa oknum dirasa eksklusif dan menyeramkan. Padahal bukankah dalam lingkup kehidupan antar umat beragama itu seharusnya damai tanpa ada rasa takut walau ada satu atau dua hal yang berbeda?

Buku ini terdiri dari lima bab yang masing-masing memiliki sub bab yang dirasa mampu mewakili bab utamanya. Cerita-cerita yang dihadirkan dalam kelima bab tersebut mampu memotret kejadian-kejadian yang belakangan ini sering terjadi dalam masyarakat kita, apalagi soal semakin melebarnya ‘jurang’ hanya karena berbeda pandangan politik. 

Bab I

Islam dan Kebaikan Anak-Anak

Ada delapan kisah yang Kalis tuliskan dalam bab ini. Tentang bagaimana kepolosan sikap anak-anak dalam beragama. Ironisnya naluri khas anak-anak itu kadang dimanipulasi oleh orang dewasa dengan menanamkan pemahaman yang keliru. Pernah mendengar berita anak-anak berpakaian putih di jalanan berseru kalimat yang mengandung unsur kekerasan (membunuh) yang ditujukan pada orang yang mereka anggap bersalah? Betapa tega sikap orang dewasa yang ‘meracuni’ tingkah polos anak-anak dengan kecurigaan terhadap orang yang berbeda agama dengan mereka.

Anak-Anak Tidak Marah adalah kisah yang kusuka dari bab ini. Bercerita tentang dunia anak-anak yang pada masanya tidak ‘sakit hati’ jika saling bercanda nyerempet soal agama. Selepas itu mereka masih bisa tertawa bahagia dengan bermain bersama kembali.

Bab II

Islam dan Kemanusiaan

“…..Namun, hijrah kali ini berbeda. Anak-anak muda itu datang dengan cerita perihal usaha mereka yang bangkrut karena pinjaman-pinjaman perbankan. Selain mereka kena tipu, mereka merasa berdosa karena gagal membaca ayat Alquran soal larangan riba. Berikutnya, anak-anak muda ini menawarkan berbagai produk jualan yang katanya lebih berkah sebab segala prosesnya halal alias terjaga (Hal : 70)”

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin mengajarkan sisi kemanusiaan pada sesama. Namun sebagian umatnya malah kehilangan sisi kemanusiaannya demi melancarkan nafsu politiknya dengan menghalalkan berbagai cara, salah satunya dengan provokasi yang dilakukan tanpa mengenal tempat. Di masjid-masjid contohnya, bagaimana mereka mencoba ‘menakuti’ massa dengan ancaman ‘tidak disholatkan atau masuk neraka’ hanya karena pilihan politik yang berbeda. Masjid lho ini yaa, rumah ibadah. Tempat di mana seharusnya orang merasakan damai dan sensasi sakral saat menghadap Penciptanya, malah dicekoki dengan perasaan tidak nyaman dan takut. Masjid menjadi profan karena mereka menyusupinya dengan propaganda politik kotor. Kalis merangkum peristiwa itu dalam tulisannya Yang Sakral dan Yang Profan di Masjid Kita.

Lalu ada pula Ragam Hidayah di Kampung Kang Kandar yang menjadi kesukaanku di bab ini. mengisahkan tentang keseharian dan kesederhanaan khas masyarakat kampung dalam memaknai agama serta relasinya antar sesama manusia. Warga kampung hidup rukun dan saling peduli tanpa ada rasa curiga maupun terancam dengan latar belakang agama yang beragam di kampung tersebut.

“Aku akan terus bicara, demi apa pun, bahwa Tuhan itu rahman dan rahim – sifat yang tak pernah ada dalam kamus para pelaku teror (Hal : 174)”

Bab III

Islam dan Akal Sehat

Pekik takbir belakangan ini mudah ditemui jika ada kerumunan orang yang sedang menyalurkan aspirasinya tentang apa-apa yang berlainan dengan keyakinan mereka. Kadang aku berpikir, apa korelasinya coba bertakbir mengagungkan nama Tuhan dengan tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah? Entahlah kadang otakku belum sampai memahaminya.

20200128_102045_0000

Enam keping cerita yang Kalis tuliskan di sini seakan ingin mengajak pembaca ‘Yuk, ayuk fungsikan pikiran dan otak dengan baik dan benar’ jangan seperti kerbau dicocok hidung dalam memahami tiap persoalan (agama) dihidup ini.

“Akal sehat dan iman bisa berjalan berdampingan (Hal : 105)”

Bukankah Nabi Muhammad menyuruh kita untuk selalu Iqra. Belajar. Nah kalau sudah belajar semestinya tidak akan taklid buta pada ajaran ulama yang tidak kompeten (yang biasanya menggiring /menjustifikasi bahwa sesuatu itu halal/haram atau neraka on the way lah pokoknya).

Bab IV

Islam dan Contoh Baik

Jika saja mau melihat sesuatu dengan lebih jujur tanpa ada tendensi/kepentingan apa-apa niscaya akan mudah menemukan wajah Islam yang ramah dalam keseharian kita. Seperti kisah Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi mereka, pendidikan agama sejatinya adalah akhlak.

“Aku iri pada Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang hanya berharap ketenangan dan keselamatan dalam agama. Melakoni kepasrahan demi kepasrahan tanpa nafsu berkompetisi dan menjatuhkan saudaranya yang seiman ketika antre mengharap surga. Lik Jaswadi dan Lik Ndari hanya paham Allah Swt. Sebagai tempat berpulang, mencari jalan selamat, bukan tempat mencari legitimasi kebenaran untuk kepentingan kelompok-kelompok politik (Hal : 161)”

Bab V

Islam dan Modernitas

Modernitas identik dengan perkembangan teknologi. Teknologi yang memungkinkan kita bisa melakukan banyak hal tanpa harus bertatap muka, serta teknologi yang dapat menjadi corong untuk menyebarkan kebaikan dengan jalan berdakwah. Banyak dijumpai dakwah-dakwah yang memanfaatkan lintas platform media sosial untuk dapat menjangkau banyak orang. Melalui broadcast whatsapp salah satunya. Pernahkah mendapati pesan yang isinya umat sedang terancam? Atau persoalan halal/haram – boleh/tidak mengucapkan atau menerima traktiran dari teman yang berulang tahun?

Hal-hal semacam itu menjadi lumrah dirasakan karena perkembangan teknologi berbanding lurus dengan semakin bermunculannya para ahli-ahli agama dadakan dengan bermodalkan kuota malam gratis dan ngaji lewat youtube. Tiada yang salah dengan menjadi santri youtube atau lewat media lain, hanya saja yang dikhawatirkan adalah fenomena yang mudah sekali ‘melabeli’ seseorang itu dengan kata ‘auto neraka – bid’ah – kafir (sering sekali ini diucapkan)’ bahkan pada orang yang seiman.

Islam Tuhan Islam Manusia (2017), Haidar Bagir : tidak akan ada manusia kecuali Nabi yang dapat menangkap maksud Tuhan dengan sebaik-baiknya. Kesadaran ini seharusnya membuat kita memafhumi perbedaan tafsir kebenaran agama di antara sekian banyak mufti dan mufasir yang ada. Dengan kata lain, memonopoli kebenaran alias memutlakkan pandangan tafsir sambil menyatakan tafsir orang lain salah adalah sebentuk kesombongan luar biasa (Hal : 89)

*****

Terima kasih kepada teknologi berbagi di media sosial yang pertama kali membuatku mengenal tulisan seorang Kalis Mardiasih. Aku agak lupa tulisan yang kubaca dulu, apakah tulisan Kalis yang coba menanggapi cuitan ‘ustad yang berpindah agama itu’ atau perdebatan Kalis dengan seorang ikhwan yang menggunakan nama ala Jepang. Namun yang jelas aku merasa cocok dengan pemaparan Kalis. Makanya begitu tahu Kalis merilis buku bertema keislaman (hijrah) auto dimasukkan dalam list to be read selanjutnya.

Oiaa, dalam buku ini Kalis juga menyertakan berbagai referensi bacaan sebagai elemen pendukungnya dalam bernarasi. Aku mencatat (walau tidak semua) buku yang Kalis sebutkan seperti :

– Languange Philosophy : George Yule

– Adam dan Hawa : Muhidin M. Dahlan

– Identitas dan Kenikmatan : Ariel Heryanto

– The Seven Good Year : Etgar Keret

– Nusantara : Sejarah Indonesia : Bernard HM Vlekke

– Islam Tuhan Islam Manusia : Haidar Bagir

– Generation M : Young, Muslims Changing The World : Shelina JanMohamed

– The Kite Runner – Khaled Hosseini

Akhirnya aku merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami bagaimana ‘gelombang’ hijrah ini merebak dalam masyarakat. Gelombang yang harusnya bernuansa positif selama dapat dimaknai dengan bijak, bukan malah menimbulkan gap – antara yang belum hijrah atau yang sudah hijrah. Sejatinya hijrah adalah sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Bagaimana kita berupaya untuk berbuat lebih baik lagi di setiap harinya. Berhijrah dari satu keburukan di masa lalu menuju kebaikan di masa kini maupun nanti.

Makanya, hijrahnya jangan jauh-jauh nanti bisa nyasar.

Kebablasan lalu hilang arah gak tau jalan pulang.

Penaklukan adalah narasi zaman purba. Narasi masa kini adalah hidup berdampingan dan mengupayakan kebaikan-kebaikan untuk generasi berikutnya. Bagaimana mewariskan mereka udara yang lebih baik, air yang lebih baik, teknologi yang memudahkan kehidupan, juga sistem persaudaraan yang tidak saling menyerang satu sama lain (Hal : 94)

20200127_144912_0000

35. [Resensi] #dearRain

20191005_125927_0000

Begitu mendengar kabar bahwa si penulis akan merilis buku terbarunya, aku tanpa ragu segera mendaftar untuk mengikuti pre-ordernya. Bukan mengapa karena selama ini aku menikmati karya-karyanya yang ditulis secara ‘sederhana’ tapi sungguh bermakna. Apalagi dalam masa pre-order ini ada iming-iming TTD sebagai bonusnya (selain ada potongan harga tentunya). Namun disayangkan begitu paket yang diantar oleh petugas tiba dengan segera aku membukanya dan ta…da… aku tidak menemukan goresan tinta TTD di sana T_____T

“Hati dan pikiran itu dua tempat yang sangat dekat, tapi paling jauh perjalanan untuk menempuh keduanya.” (TS. Eliot dalam #dearRain Hal : 25)

Konon katanya, perempuan adalah makhluk Tuhan yang lebih sering menggunakan hatinya ketimbang pikirannya dalam mengambil setiap keputusan di dalam hidupnya. Katanya lagi, perempuan pun merupakan makhluk yang paling sulit dipahami keinginannya. Mungkin, berbekal dari dua hal itulah penulis mencoba memahami sisi perempuan. Perempuan kecil bernama Rain.

#dearRain adalah kumpulan kisah yang ditulis oleh seorang ayah untuk anak perempuannya. Kisah-kisahnya diambil dari keseharian si ayah dalam menjadi hidupnya. Sekilas mungkin akan terkesan nirfaedah atau bahkan receh, sementara sisanya adalah kisah-kisah yang (rupanya) ada pesan tersirat di dalamnya.

20191005_102714-tile

Dari beberapa kisah yang terdapat dalam buku 152 halaman ini, aku memiliki beberapa judul yang menjadi kesukaan, sebut saja :

  • Nama Perempuan ; bagaimana alam pun seakan memberi ‘tanda’ bahwa perempuan adalah makhluk yang kuat namun bisa menakutkan dan mematikan. Berkaca dari penamaan badai-badai yang sering menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan adalah nama badai yang diberi nama perempuan. Pun bukankah Bumi ini konon katanya juga adalah perempuan. Ibu Bumi. Ibu Pertiwi. Mother Gaia.
  • Menyebrang jalan ; dari kisah sederhana soal ketidaktahuan seorang anak menyebrang jalan memiliki arti tentang bahwa tidak semua hal di dunia ini terjadi sesuai dengan standar ideal masing-masing individu. Maka yang dapat dilakukan adalah beradaptasi dengan apa yang sedang terjadi, membangun kekebalan diri dan tidak perlu lah merespons apapun yang dilakukan oleh orang lain yang dirasa ‘berbeda’ dari apa yang kita yakini.20191005_125112_0000
  • Susu Penuh dan Ayat-Ayat Konservasi ; kisah ini seperti ‘cubitan’ bagiku untuk memperbaiki sikapku terhadap makhluk ciptaan Tuhan yang lain (hewan dan tumbuhan). Karena sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, tugas manusialah menjadi khalifah di bumi ini, hidup berdampingan serta menjaga dan memanfaatkan dengan bijak apa yang telah alam ini sediakan. Terharu dengan kisah Rusa 😥
  • Plus Jamais Ca ; part yang kupikir agak ‘berat’ dibanding lainnya karena bercerita soal konflik, kesenjangan sosial, ideologi/agama serta isu-isu identitas. Relate lah dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
  • Dua dan Kadang Tiga ; sepertinya di masa arus informasi begitu mudah diakses dan terlalu deras, petuah Edgar Allan Poe dan Benjamin Franklin layaknya selalu diterapkan :

20191005_102831

Serta jangan lupakan juga untuk memeriksa terlebih dahulu apakah yang didengar atau dilihat itu valid. Agar hoax tak lagi menjadi santapan sehari-hari masyarakat.

  • Labirin ; tentang bagaimana cara kita untuk dapat bertahan di dalam labirin yang bernama kehidupan dunia.
  • Tentang Kebebasan

“Manusia bisa saja merasa dirinya bebas dan otonom terhadap nasibnya, tetapi selalu ada aturan yang tak bisa dilanggar. Atau kalau berani melanggarnya, dia harus menerima akibatnya. (Hal :146)”

*****

Cerita-cerita yang dihadirkan dalam #DearRain ini ringan, tanpa ada kesan menggurui. Bisa diselesaikan dalam sekali duduk sambil mengunyah kudapan dan menyesap minuman kesukaan. Aku suka dengan ilustrasi-ilustrasi yang menghiasi, cantik. Seakan memperjelas imajinasi pembaca akan kisah yang sedang dibaca. Bagi para pengikut si penulis melalui media sosialnya, akan ditemukan beberapa postingan yang pernah dia tampilkan di sana. Bagiku sih tiada masalah, karena yang tercetak di buku lebih mudah untuk kembali kubaca daripada harus menggulir-gulir linimasa ke beberapa tahun silam.

Ah iya, ada satu hal yang agak sedikit mengangguku di halaman ke 137. Part Tentang Kebebasan, sepertinya ada kesilapan atau salah ketik ya?

20191005_121426
River ? Bukankah seharusnya Rain 

Overall aku dapat menikmati buku dari seorang ayah untuk puterinya ini. Tidak menutup kemungkinan jika si penulis akan merangkup semua #KhutbahJumatUntukIstriku nanti, aku pun akan kembali turut berpartisipasi untuk membelinya.

20191005_102628

“Jangan mengikuti keramaian, ikutilah kebenaran.”

(Ali Bin Abi Thalib dalam #DearRain Hal : 151)

34. [Resensi] Tukar Takdir

20190510_215555-1

Sejak pertama melihat hint bahwa Vabyo sedang menulis buku terbarunya, aku sudah menandainya dalam keranjang to be read selanjutnya. Jujur saja, semakin hari minat baca menguap entah ke mana, maka apabila ada berita kalau salah satu penulis kesayangan akan menerbitkan buku, besar harapan dapat menjadi pemicu untuk kembali menekuni literasi.

*****

Tukar takdir merupakan kumpulan cerita yang dikemas dengan gaya bercerita Vabyo yang mengalir, dengan kalimat yang sering berima dan plot twist yang menanti diakhir. Kadang aku tak siap mengantisipasi akhir dari sebuah takdir yang kupikir akan berakhir manis namun nyatanya tragis, seperti Takdir 2 : Serupa dan SerapuhSaya seperti luwak yang harus merasa bersalah kalau nggak berak karena sudah diberi kandang dan makanan.

Lain halnya pada Takdir 3, Vabyo dengan cerdas menuliskan fenomena sosial yang merebak saat ini dalam kisahnya tentang seorang Ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai selebgram yang bermain dengan filter dan menonjolkan bagian tubuh tertentu dengan angle yang pas demi meningkatkan jumlah love. Dibumbui juga dengan sulapan kutipan-kutipan beken yang dipajang sebagai caption.

“Bahwa apa yang ditampilkan dalam maya, seringnya tak seindah dalam nyata”

Untaian takdir yang Vabyo tuliskan tampaknya berasal dari pengalaman hidup pribadi – sepertinya ini ada pada Takdir 10, apalagi nama si tokoh adalah anagram nama lengkap si penulis. Shahih mah ini, hehe – ataupun cerita-cerita lumrah yang pernah kita dengar dari teman atau mungkin diri sendiri yang mengalami. Bedanya adalah, meski inti ceritanya cukup sederhana, cara penyampaiannya yang tidak biasa.

*****

[Takdir 1] : Diulang Sayang

Dari takdir ini aku menemukan istilah ‘keren’ untuk menyebut ilmu cocoklogi. Itu lho sejenis ilmu yang seolah-olah punya bukti data atau fakta ilmiah akan sesuatu tapi sifatnya hanya cocok-cocokan. Disebutnya, Pseudoscientist. Pun pada takdir ini mengingatkanku akan turbulensi yang pernah dialami saat berada di angkasa.

[Takdir 2] : Serupa dan Serapuh

Plot twist pertama yang tak kuduga akhirnya. Tragis.

[Takdir 3] : Duta Rumah Tangga

Ini merupakan takdir kesukaan, karena aku bisa menemukannya dalam kehidupan sekitar. Tentang orang yang berupaya menampilkan ‘sisi berbeda’ dari hidupnya yang menjadi idaman masyarakat pada umumnya. Dunia nyata yang berbanding terbalik dengan dunia maya. Hanya demi eksistensi dan juga uang berpundi-pundi.

[Takdir 4] : Kunci Pencari Pintu

Di luar ekspektasi akan akhir dari takdir ini. Kupikir akan happily ever after dengan kesembuhan sang istri, namun nyatanya dia tak lagi orang yang sama. Hihhh..

[Takdir 5] : Kelainan itu Kelebihan

Fenomena ‘kelebihan’ ini paling banyak terdapat dalam masyarakat, di mana sosok yang memiliki kelebihan itu sering dimintai tolong oleh masyarakat demi berbagai kepentingan, terlebih untuk meminta kesembuhan.

[Takdir 6] : Centong Ajaib

Cerita ini juga santer terdengar di kalangan para pedagang yang ‘tidak terima’ kalau pedagang lainnya lebih laris manis oleh pengunjung. Alasan paling klasik bin mistik biasanya yang paling mudah dijadikan pembenaran oleh mereka yang merasa ‘kalah’.

[Takdir 7] : Pembohong Yang Jujur

Sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu jatuh juga.

Peribahasa yang bisalah dimirip-miripin dengan kisah ini.

20190513_224004_0000

[Takdir 8] : Pencinta Butuh Pelarian

Pesan moral dari takdir ini adalah : jangan bego lah kalau putus cinta. Sedih boleh, tapi gak harus resign juga. Masa iya udah lah sedih gegalauan, gak ada uang lagi plus didatangi makhluk dari zona lain pula. Makin dabel aja tuh nestapanya.

[Takdir 9] : Hidup Yang Sangat Berat

Manusia itu makhluk yang gak baik-baik amat lho. Paling sering baik kalau ada maksud ‘terselubungnya’. Makanya jangan sampai terkecoh lalu tertangkap olehnya. Bisa-bisa kekasih hilang, nyawa diri melayang.

[Takdir 10] : Melupakan Pengingat Diri

Curahan hati si penulis atas ‘pengalaman berharganya’ beberapa tahun silam, yang mungkin membuatnya makin mensyukuri hidup yang fana ini, karena diberi kesempatan untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi. *duh, kok kesannya aku sotoy banget nih hehe

[Takdir 11] : Aroma Masa Lalu

Kalimat terakhir dari takdir ini membuatku merinding. Sebagai pembaca aku gagal paham sedari awal tentang siapa tokoh dalam cerita ini.

20190513_224052_0000

[Takdir 12] : Singgasana Kekal

Tiada yang pernah tahu bagaimana situasi sebenarnya yang terjadi di Singgasana Kekal, karena konon katanya, yang berhasil kembali dibuat tak lagi mengerti akan apa yang sedang terjadi. Biar tetap menjadi misteri.

*****

Menukar takdir?

Terdengar menggoda bukan?

Tapi tunggu dulu, bukankah sebagai insan yang beragama seharusnya beriman pada yang namanya takdir?

Trus kenapa malah mau menukarnya?

Tukar Takdir dapat menjadi pengingat bahwa sekelam atau sesulit apapun takdir yang sedang dijalani, bersyukurlah. Berdoalah. Pinta pada pemilik Singgasana Kekal untuk membantumu melewatinya, untuk kemudian membawamu pada takdir terbaikmu yang Dia rancang. Karena jika kamu masih berkeras untuk menukar takdirmu dengan takdir yang ‘menurutmu baik’, yakin tidak akan ada penyesalan yang muncul belakangan?

Akhirnya takdir keberapa kah yang paling relate dengan hidupmu saat ini?

atau yang menjadi kesukaanmu?