43. [Resensi] Menjerat Gus Dur

Walau tinggal jauh dari ibu kota negara, ingatan masa kecilku masih merekam kejadian Mei 1998 dengan cukup baik. Tidak boleh keluar rumah, toko-toko yang tutup, harga-harga mulai naik dan televisi yang rutin menayangkan situasi terkini di Jakarta yang kian memanas.

“Oh mahasiswa lagi pada demo untuk menggulingkan kekuasaan 32 tahunnya Soeharto” aku memahaminya hanya sekadar itu. Namun lambat laun seiring bertambahnya usia dan bacaan aku mulai menyadari, peristiwa 21 Mei 1998 itu merupakan titik tolak perjalanan politik pemerintahan di Republik ini. Perjalanan pemerintahan transisi dari rezim yang sungguh otoriter menuju ke rezim demokrasi yang mengantarkan bangsa pada satu kata bernama Reformasi.

Reformasi menghadirkan perubahan pada politik negara ini, misalnya dengan tidak lagi dikuasainya pemilihan umum dengan tiga partai saja, melainkan munculnya banyak partai baru yang turut meramaikan ajang perebutan ‘kuasa’ lima tahunan tersebut. Era Reformasi pulalah yang mengantarkan Dr. K. H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menduduki kursi Presiden RI yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui hasil pemilu.  

*****

Menjerat Gus Dur adalah buku ‘sejarah’ yang memotret proses kelam demokrasi di Indonesia. Bagaimana seorang tokoh bangsa dilengserkan dengan beragam cara, salah satunya dengan ‘skenario’ semut merah (semer). Buku 376 halaman ini memaparkan sejarah politik Gus Dur yang lengkap karena turut melampirkan juga dokumen-dokumen penting – yang tadinya mau dibuang dan dikulakan ke tukang loak – mengenai proses pemakzulan Gus Dur sebagai seorang Presiden.

Rencana pelengseran Gus Dur ditengarai muncul sejak pemecatan Jusuf Kalla (Golkar) yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Laksamana Sukardi (PDIP) yang merupakan Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN. Dua tokoh penting dari dua kekuatan partai politik terbesar yang mengisi kursi DPR kala itu. Merasa tidak terima dengan keputusan dan kebijakan Gus Dur yang mengusik zona nyaman para politisi, mereka membuat tuduhan yang menyebabkan Gus Dur diberhentikan pada Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001. Gus Dur dituduh melakukan tindakan Inkonstitusional dan dituduh terlibat KKN dalam kasus Bruneigate dan Buloggate.

“Pemakzulan terhadap Gus Dur bukan karena perkara Brunei dan Bulog seperti yang dituduhkan selama ini. Gus Dur dilengserkan karena dihimpit politik dan tidak ada konstitusi yang dilanggar.” – Luhur Binsar Panjaitan (hal : 335)

“Lengsernya Gus Dur merupakan konspirasi elit politik yang merasa terganggu dengan cara berpikir dan langkah perubahan yang dilakukannya.” – Rizal Ramli (hal : 335)

Memorandum I (01 Februari 2001), Memorandum II (30 April 2001), Dekrit Presiden (23 Juli 2001) dan Sidang Istimewa MPR adalah bukti sejarah bagaimana para elit politik mencoba ‘MENJERAT GUSDUR’ dengan berbagai daya upaya. Mereka adalah barisan sakit hati yang kalah dalam pilpres, sisa-sia orde baru yang masih ingin berkuasa, poros tengah yang dulu mendukung Gus Dur kini berbalik melawannya, serta oknum TNI yang tidak senang dengan penegakan supremasi sipil (pencabutan dwifungsi ABRI).

Mereka menggalang kekuataan untuk pemakzulan Gusdur.

PS : setidaknya ada 40 nama yang tercatat (hal : 153 – 155) yang kontra dan ingin Gus Dur berhenti dari jabatannya sebagai Presiden.

*****

Tujuh bab yang ditulis runut dan sistematis dalam buku ini dapat menjadi bahan diskusi bagi para generasi kini yang tertarik dengan perkembangan politik negeri. Dibuka dengan narasi mengenai awal orde baru, reformasi, pemilu 1999 hingga diberhentikannya Gus Dur pada tahun kedua masa kepemimpinannya.

Meski singkat, pemerintahan pada era Gus Dur telah memberikan kontribusi berarti bagi negeri ini. Memberikan pengakuan atas kaum minoritas yang dulu hak-haknya tidak terpenuhi, seperti pada tionghoa Indonesia, kristen, dan masyarakat Papua. Gus Dur juga berupaya mendamaikan konflik berkepanjangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin lepas dari Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga melindungi kebebasan pers dengan harapan kebebasan bersuara akan menjadikan demokrasi ini berada pada track yang benar. Namun nyatanya, media pada masa itu masih juga berada di bawah bayang-bayang orde baru yang turut memersuasi masyarakat untuk terhasut akan tuduhan KKN yang dilakukan oleh Gus Dur.

Setelah membaca buku ini, kusadari banyak nama-nama elit politik yang masih eksis hingga kini. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik transaksional masih mengakar dan sulit dihilangkan, pun proses demokrasi masih jauh dari konsep idealnya. Tinggal bagaimana masyarakat sebagai rakyat yang memiliki hak suara, menggunakan haknya dengan bijak demi memilih pemimpin yang benar-benar mampu bekerja demi rakyat, bukan demi golongan dan kelompoknya.

Leave a comment