42. [Resensi] Tuhan ada di hatimu

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali (Pasal 28E ayat 1 UUD 1945)”

Sudah selayaknya, perkara agama dan keyakinan pada Tuhan adalah urusan private setiap individu. Namun agaknya di Indonesia hal ini tidak berlaku. Perjalanan spiritual seseorang untuk menemukan Tuhannya sendiri (yang menurutnya paling benar dan baik serta sesuai nuraninya) yang kadang berujung dengan perpindahan, seringkali dibingkai media dengan narasi yang mengundang click bait. Kata-kata seperti ‘mendapat hidayah’, ‘menemukan jalan terang’, ‘tidak lagi tersesat’ adalah frasa yang sering ditemui dalam berita-berita mereka yang memutuskan pindah agama. Belum lagi kemungkinan dikucilkan dari pihak keluarga yang tidak setuju dengan keputusan tersebut.

Islam, sebagai agama mayoritas di Indonesia mengajarkan kepada penganutnya untuk berhubungan baik dengan siapapun tanpa memandang status keberagamannya. Namun akhir-akhir ini banyak juga ditemui oknum yang mengaku Islam tapi tidak dapat menerima perbedaan bahkan perbedaan dalam mahzab Islam sekalipun. Fenomena ini bisa jadi dipengaruhi oleh makin maraknya gelombang ‘hijrah’ yang menyiratkan untuk kembali merujuk pada Al-Quran dan Hadist.

*****

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan (QS. Al-maidah : 48)”

Aku mengetahuinya tanpa sengaja, sebab sebuah rekomendasi video dari influencer yang aku ikuti dalam youtube. Tayangan berjudul ‘muslim mayoritas kok mental minoritas’ dan ‘menjadi minoritas Muslim di Eropa’ menjadi pembuka yang mengenalkanku pada seorang Habib Husein Ja’far Al-Hadar. Seorang pendakwah yang menyasar generasi milenial sebagai pendengarnya. Dari sanalah aku juga tahu bahwa Beliau menulis sebuah buku, yang langsung menjadi to be read ku selanjutnya.

Tak di Ka’bah, di Vatikan, atau di Tembok Ratapan, “Tuhan Ada di Hatimu”

Simbol dan agama adalah dua hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Sebagian masyarakat masih menganggap jika simbol suatu agama digunakan dan tampak kasat mata maka tingkat kesalihan orang tersebut sudah di atas rata-rata. Padahal faktanya tidak seperti itu juga, penggunaan simbol bukan ukuran mutlak ketaatan orang terhadap Tuhannya. Itu yang coba dijelaskan oleh Habib Husein dalam buku 203 halaman ini.

Terdiri dari empat Bab yang membawahi sub bab setelahnya, buku ini memotret fenomena hijrah dan pemahaman sebagian masyarakat kita bahwa Islam adalah agama hukum yang melabeli ‘semuanya’ dengan halal – haram.

Dimulai dengan Bab Hijrah.

Aku memperoleh wawasan baru dalam bab ini mengenai sekte Khawarij (sekte yang tidak menginginkan adanya perdamaian yang dilakukan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dengan Muawiyah). Sekte ini memiliki ciri-ciri :

1. Menempatkan politik di atas kemanusiaan.

2. Gemar mengafirkan yang lain.

3. Fanatik terhadap apa yang mereka anggap benar.

4. Mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Sounds familiar, bukan?

Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Aamiin.

Habib juga menggarisbawahi perihal hijrah, bahwa jika kita berhijrah menuju Allah maka sebaiknya juga berbanding lurus dengan hijrahnya sikap kita pada sesama manusia. Tidak dengan mudahnya menjustifikasi seseorang yang kita anggap belum berhijrah sebagai orang yang ‘sesat’, dan bukan pula semakin mengekslusifkan diri sebagai orang yang paling benar dan hanya mau bergaul dengan yang sepemahaman.

Selanjutnya adalah Bab Islam Bijak, Bukan Bajak

Habib menyoroti tentang bisakah agama dinista dan Tuhan dibela?

Persis seperti kejadian beberapa tahun silam yang cukup menyita perhatian. Kasus (yang menurut sebagian orang) penistaan agama yang dilakukan kepala daerah. Memang sudah kewajiban kita untuk membela Tuhan, namun pembelaan seperti apa dulu yang dimaksud. Jangan-jangan bukan Tuhan yang dibela, tapi ego kelompoknya sendiri.

“Pembelaan atas nama Tuhan sebenarnya hanyalah pembelaan atas ego suatu kelompok saja (Halaman : 74)”

Beliau memaparkan tentang anggapan orang-orang yang sering salah memaknai kata ‘menolong dan membela Tuhan’.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Muhammad 47 : 7)”

Pernah dengar pernyataan ini sebelumnya?

Benar belum tentu baik, begitu juga sebaliknya.

Kita menyakini bahwa nilai-nilai agama yang kita anut membawa kebenaran untuk kita, namun apakah kita sudah menyampaikan nilai-nilai itu pada orang lain dengan cara yang baik dan juga indah? Bukan semata menakut-nakuti mereka dengan konsep surga – neraka, pahala – dosa?

“Untuk menjadi bijak, kita tak hanya butuh kebenarannamun juga kebaikan dan keindahan”

Dalam Bab Akhlak Islam Habib ingin menekankan bahwa dalam Islam, akhlak adalah suatu yang sangat esensial. Nabi Muhammad SAW diturunkan juga untuk memperbaiki akhlak masyarakat pada masa itu. Akhlak yang santun, menghargai perbedaan, tidak menganggu/menyusahkan orang lain dan berlaku adil adalah beberapa sikap Nabi yang harusnya kita tiru.

Bukan hanya demi menyambut seorang tokoh pujaan sampai menyusahkan orang lain dan mengganggu fasilitas umum.

Terakhir, Habib menulis Bab Nada, Canda dan Beda yang bercerita tentang beberapa kegiatan yang disinyalir tidak diizinkan (haram) dalam hukum Islam menurut sebagian orang. Jatuhnya hukum haram tersebut menurut mereka karena kegiatan itu (melukis, menyanyi, mendengarkan musik, nonton bioskop, dll) membawa kemudharatan dan kesia-siaan jika dilakukan. Padahal banyak juga ulama yang membolehkan kegiatan tersebut dilakukan. Perbedaan pendapat dan pemahaman seperti itu lumrah adanya, asal jangan dibubuhi dengan ‘pemaksaan’ dan justifikasi bahwa orang yang berbeda paham berarti kafir atau sesat.

*****

“Jika Tuhanmu berkehendak, niscaya Dia akan menjadikan semuanya berada dalam satu agama, namun Dia menghendaki agar memilih, dengan tujuan untuk mewujudkan prinsip keadilan terkait pahala dan hukuman. Setelah menentukan pilihan, mereka masih tetap berselisih karena selalu mengikuti hawa nafsu (QS. Hud : 118)”

Perbedaan adalah keniscayaan yang memang Tuhan ciptakan, agar kita dapat saling mengenal dan belajar bertoleransi satu dengan lainnya. Keberagaman membuat hidup tak melulu soal hitam dan putih, ada warna cantik lainnya yang menjadikannya indah. Pun dalam memahami konteks ajaran agama yang dianut, akan selalu ada perbedaan. Namun siapa yang paling benar menerapkan ajaran yang sesuai Al-Quran dan Hadist, hanya Allahlah yang berhak menilainya. Aku, kita, sebagai manusia tidak punya hak untuk menjadi Tuhan dan menghukum seseorang hanya karena berbeda.

Agama tidak sekadar simbol, ritual ibadah, lalu mengabaikan hal-hal dasar dari agama itu sendiri. Akhlak, menebarkan kebaikan bukan ketakutan, memudahkan penganutnya bukan malah mempersulit, menghargai perbedaan dan menjadi sumber bahagia untuk orang-orang di sekeliling. Karena bukankah sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

Pada akhirnya aku merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang ingin mengenal dan mengetahui wajah Islam yang asyik, yang tidak mengusik dan menghargai pluralistik.

“Dakwah kita pun bukan modal tahu teks agama, tapi konteks masyarakat. Harus memberi solusi bukan hanya menghukumi. Harus bertahap, bukan melahap. Harus membaru, bukan membentur. Harus memahami, bukan hanya mencekoki (Halaman : 177).”

Leave a comment